Monday, 19 August 2013
Kartini Kecil
“Tini, Tini!” seru seorang perempuan yang merupakan teman sekelasnya. Gadis yang dipanggil dengan nama Tini berbalik dengan ogah-ogahan dan memasang tampang cemberut.
“Sudah berapa kali aku bilang, jangan menyingkat namaku menjadi Tini, panggil aku Kartini,” katanya sewot.
Dia selalu memperingati teman-teman sekelasnya agar tidak memanggilnya Tini, entah siapa yang memulai memanggilnya dengan singkat begitu. Dia selalu mengingat amanah Ayahnya yang kini selalu diyakini Kartini sudah beristirahat di surga, Ayah yang memberikannya nama Kartini, Ayah yang berpesan bahwa tidak ada yang boleh memanggilnya selain dengan nama Kartini lengkap, bukan Tini, atau Kar, atau apapun itu.
“Iyah deh, maaf, Tini kan lebih singkat,” kata temannya masih membela diri.
“Memanggilku dengan nama lengkapku saja susah, kamu pemalas sekali. Oh iyah, kenapa?”
“Kamu dipanggil ke ruangan kepala sekolah.”
Setelah mengucapkan terima kasih dan memberitahu sekali lagi kepada temannya itu bahwa tidak lagi memanggilnya Tini, Kartini segera bergegas menuju ruangan Kepala Sekolah. Dalam perjalanan, dia terus memikirkan, apa yang telah dilakukannya sampai dia dipanggil menemui orang nomor satu di sekolahnya itu.
Sesampainya di depan pintu, Kartini merapikan seragan sekolahnya, memastikan kemeja putihnya yang kini sudah terlihat kekuningan tetap rapi dan berada didalam rok seragam berwarna merahnya yang kini sudah hampir terlihat seperti warna pink, mengelap sepatunya yang agak berdebu dengan tangannya, tetapi tidak ada perubahan pada sepatu hitamnya itu yang ternyata memang sudah usang. Kartini kemudian mengetuk pintu perlahan dan segera masuk.
Kepala Sekolah yang menyadari kehadiran Kartini segera menyuruhnya duduk dan memulai pembicaraan tanpa basa-basi.
“Kartini, seminggu lagi kita akan UN, Bapak perhatikan kamu akhir-akhir ini selalu datang terlambat ke sekolah dan juga jarang mengikuti bimbingan belajar di sore hari. Bapak ingin kamu tidak terlambat saat UN berlangsung.”
Kartini yang mendengar penjelasan Kepala Sekolahnya hanya mampu menunduk dalam-dalam. Matanya seketika terasa panas dan mulai berair, tapi segera ditepisnya perasaan sedihnya itu. Hidup sudah terlalu perih baginya, dia tidak perlu menambah perih hatinya dengan mengasihani dirinya sendiri.
Bapak Kepala Sekolah yang menanti jawaban Kartini, tiba-tiba merasa bersalah melihat Kartini bahkan tidak sanggup menatap wajahnya. Bapak Kepala Sekolah sendiri tahu bagaimana keadaan Kartini sebenarnya, dia ditinggal Ayahnya yang hanya tukang becak sejak kelas 4 SD, Ibunya hanyalah tukang cuci harian dan dia memiliki satu orang adik lagi yang masih kecil, mereka tinggal di gubuk kecil yang berdindingkan rotan dan beralaskan tanah, tidak jauh dari sekolah. Kartini sendiri membawa jajanan milik tetangganya yang dia jual kesekolah, paling dapat beberapa ribu saja sehari. Bapak Kepala Sekolah yang tahu bahwa Kartini adalah muridnya yang sangat pintar, dan Beliau sangat bangga kepada Kartini bisa berprestasi dengan keadaan dia yang serba kekurangan, dibanding anak-anak nakal yang kaya dengan segala fasilitas dan tidak menggunakannya dengan baik, dan inilah yang sangat disayangkan si Kepala Sekolah bahwa akhir-akhir ini Kartini tidak fokus terhadap sekolah.
“Maaf Pak,” kata Kartini kemudian, “Ibu saya sedang sakit keras akhir-akhir ini, tidak ada yang mengurus rumah, juga adik saya. Jadi, pagi-pagi sekali saya membereskan rumah, memasak untuk adik dan Ibu saya dulu Pak baru ke sekolah.”
Suara Kartini mulai terdengar serak dan bergetar, bayangan Ibunya yang tertidur lemas di kasur yang tidak empuk, dan adiknya yang mulai menangis, dan tiba-tiba dia sangat rindu kepada Ayahnya.
Pertemuan di ruang Kepala Sekolah berakhir dengan dirangkulnya Kartini oleh Kepala Sekolah. Kartini mengangguk-angguk ketika Beliau memberinya semangat, kalau Kartini adalah anak perempuan cerdas, cantik dan kuat, sehingga apapun pasti bisa diatasinya. Kata-kata Kepala Sekolah tadi membuat pundak Kartini seketika menengang, ada sedikit kekuatan yang mengangkatnya hingga dia bisa bangkit dengan mudah dan kembali bersemangat.
___
Suasana tegang di dalam ruangan ujian nampak sekali menghiasi wajah murid-murid kelas 6 SD Inpres Jongayya, Makassar ini. Bapak Kepala Sekolah hendak berjalan-jalan dan melihat kesiapan dan kelengkapan murid-muridnya, hingga Beliau tersadar, tidak ada sosok Kartini ditengah-tengah muridnya yang beberapa jam lagi memulai ujian. Beliau berpikir, pasti ada yang tidak beres dengan Kartini, Beliau tahu, pasti Kartini akan tetap berusaha datang walau terlambat, tetapi kalau sudah begini pasti ada sesuatu. Kepala Sekolah segera bergegas, hendak menghampiri Kartini ke rumahnya.
___
Kartini, menangis tersedu-sedu sambil mencuci tumpukan piring di depannya. Subuh tadi, saat dia sedang kusyuknya belajar mengenai mata pelajaran yang diujiankan pagi nanti, tiba-tiba Ibunya merintih kesakitan, teriakannya semakin kencang tidak seperti biasanya, pertanda Beliau sudah tidak tahan dengan rasa sakit. Kartini bingung, tidak tahu harus berbuat apa, bahkan dia tidak mampu menahan lagi air matanya. Ibunya terus merintih, Kartini yang sedari tadi hanya bisa memijit-mijit lengan dan kaki Ibunya sudah semakin kacau kemudian berlari ke rumah tetangganya, mengedor-ngedor pintunya dan meminta sedikit bantuan. Pagi tadi dia hanya membeli obat tidur dan obat penghilang rasa sakit untuk ibunya, uang dari tetangganya yang baik hati. Untung adiknya tidak rewel dan tetap tertidur pulas di atas ayunannya, sehingga tidak membuat Kartini semakin bingung. Tentu tidak banyak yang diketahui kartini dalam mengurus segala sesuatu urusan rumah mengingat dia baru menginjak kelas 6 SD.
Kartini terus menggosok piring dengan berderai air mata, pikirannya bercabang. Dia takut akan kehilangan Ibu, setelah dia tahu betapa hidupnya tidak sama lagi setelah ayahnya tidak ada. Tidak ada yang akan menemani hari-harimu bercerita mengenai apa saja, dan tentu banyak sekali yang akan dicerita anak-anak seumuran dia mengenai apa saja yang terjadi pada harinya. Dia memikirkan, betapa kecewanya Bapak
Kepala Sekolah yang telah sangat baik dan percaya kepadanya. Dia merasa sakit hati kepada dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa atas semua keadaan ini, dan terlebih bahwa dia tidak cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini semua. Kartini mengusap air matanya dengan lengannya yang ternyata dipenuhi percikan air sabun, bukannya menghilangkan air matanya, matanya malah semakin terasa perih. Kartini ingin teriak, ingin marah, tapi dia tahu dia tidak punya daya, bahkan tidak boleh melakukan niatnya itu. Sebagai seorang yang tidak punya apa-apa, tidak sepantasnya dia semakin mengeluh, apa yang mau dikeluhkan, kita tidak punya apa-apa juga untuk dikeluhkan, begitu kata Ibunya, seingat Kartini.
Disela-sela lamunannya, terdengar ketukan dari arah pintu depan. Kartini kemudian membilas tangannya yang masih penuh dengan sabun, mengelapnya kebajunya dan berlari ke arah pintu. Betapa terkejutnya Kartini ketika yang didapatinya Kepala Sekolahnya dan Wali Kelasnya, Kartini hanya bisa mematung. Bapak Kepala Sekolah memperhatikan keadaan Kartini, dan seketika Beliau sadar, Kartini tengah mencuci ketika dia datang, terlihat masih ada busa sabun yang menempel di kedua betisnya. Melihat Kartini hanya diam, Bapak Kepala Sekolah kemudian merentangkan tangannya, dan Kartini pun menghempaskan tubuhnya kedalam pelukan Beliau dan mulai menangis lagi.
“Ayok, kita ke sekolah. Kartini harus ikut Ujian, Bapak sudah meminta ibu kantin menjaga ibu dan adikmu,” kata Kepala Sekolah sambil mengusap-usap kepala Kartini.
“Harusnya Kartini beritahu Bapak apa yang terjadi. Sebagai murid Kartini berhak menyampaikan apa yang dirasakan, tentu pihak sekolah akan membantu dengan sebisanya,” lanjut Bapak Kepala Sekolah dengan tersenyum tulus.
“Benar Pak?” ada kilatan bahagia di mata Kartini sekaligus rasa tidak percaya.
“Tentu saja, cepatlah ganti baju,” perintah sang Kepala Sekolah sambil menepuk-nepuk pundak Kartini kemudian menggeleng-geleng sambil tersenyum. Ada haru tersendiri hadir di benaknya, mengingat betapa beruntungnya anak-anaknya bisa bersekolah dengan baik.
Kartini segera berlari ke dalam kamarnya. Dia mengganti pakaiannya sambil terus menangis, tapi kali ini dia menangis sambil tersenyum, begitu tidak disangkanya masih ada seseorang yang begitu baik seperti Kepala Sekolahnya di zaman yang dimana-mana diisi dengan orang-orang yang lebih cenderung mementingkan diri sendiri sekarang ini.
Bersamaan dengan derai air mata Kartini, tertumpah juga doa-doa kepada Bapak Kepala Sekolah yang begitu rela dan baik kepadanya dan mementingkan pendidikannya. Setelah selesai berpakaian, Kartini menatap satu-satunya foto ayahnya yang tersimpan dalam bingkai foto yang terbuat dari koran bekas, hasil karya Kartini saat pengambilan nilai Seni Budaya dengan memanfaatkan barang-barang bekas, sambil tersenyum dan lagi-lagi mengeluarkan air mata.
“Ayah, doakan Kartini. Kartini akan menjadi perempuan yang seperti Ayah inginkan, yang seperti Ayah idolakan. Aku tahu, ayah begitu mengidolakan Ibu Kartini.”
Kartini tahu, mengapa Ayahnya menamainya Kartini, karena Ayahnya sangat mengidolakan sosok pahlawan wanita R.A Kartini, dan ingin Kartini seperti Beliau, seperti itulah yang sempat diceritakan Ibunya dulu.
Kartini mengedipkan mata ke foto ayahnya yang menyeringai bahagia, menampakkan deretan giginya yang rapi, kemudian menuju tempat tidur ibunya yang masih tertidur dan mencium keningnya, serta mencium kedua pipi adiknya yang kini digendong oleh ibu kantin yang dimintai tolong oleh Kepala Sekolah tadi.
___
Pertolongan Kepala Sekolah yang baik itu tidak hanya sampai disitu. Setelah kelulusan, Kartini yang memang mendapat nilai tertinggi membuat Kepala Sekolahnya sangat bangga dan berniat untuk membiayai sekolah Kartini.
__
Potongan Koran di atas diambil dari Koran Fajar edisi Selasa, 7 Mei 2013
Cerpen di atas adalah murni fiksi karangan saya, dengan inti dan ada sedikit fakta tentang berita yang terdapat di koran tersebut.
Cerpen ini untuk mengikuti tantangan menulis #kliping mbak @Jiaefendi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment