Tuesday, 20 August 2013

Gadis Kecil

Saya lupa malam keberapa Ramadhan pikiran-pikiran saya ini muncul, dan saya baru sempat menuliskannya sekarang. Pikiran ini melintas begitu saja begitu seusai shalat Isya, ketika MC mengumumkan siapa yang akan membacakan ayat suci Al-qur’an dan siapa yang akan membawakan ceramah agama. Mata saya terfokus kepada seorang anak kecil yang begitu lucu, pipinya tembem, semakin tembem oleh karet kerudungnya yang bermotif bunga-bunga berwarna biru di bagian bawahnya. Yang pastinya keadaan ini berlangsung ketika saya berada di kampung.

Ketika perhatian saya hanya tertuju ke anak kecil itu, tiba-tiba adik saya menyenggol saya, “Itu adiknya Erik,” katanya sambil menyebutkan salah satu nama tetangga kami, teman saya sewaktu kecil. Saya terdiam, hendak mengingat-ngingat, dan seketika saya tertegun, “Oh, yang ibunya sudah meninggal?” tanyaku sambil bisik-bisik, “berarti sekarang dia tinggal sama neneknya toh?” tanyaku lagi dan disambut anggukan oleh adikku. Tiba-tiba kami berdua terdiam, saya terdiam bukan karena khusuk mendengarkan udztas diatas mimbar warna hijau itu menyampaikan ceramahnya, tetapi sibuk dengan pikiran-pikiran saya sendiri mengenai gadis kecil itu. Tiba-tiba adik saya berkata lagi, “kasihan di’ masih kecil.” Ternyata kediaman adik saya juga bukan dikarenakan oleh ceramah dang udztas.

Sepanjang waktu sebelum shalat sunnah Tarawih dimulai, saya hanya sibuk dengan pikiran-pikiran saya dan sibuk memperhatikan gadis kecil itu. Entah kenapa, pikiran saya terlalu sibuk atau malah sudah tidak pernah memperhatikan keadaan sekitar, sehingga hal sekecil ini membuat saya merasa terharu. Melihat anak gadis itu tertawa-tawa bersama teman sebayanya membuat hati saya sedikit teriris, bagaimana rasanya sekecil itu sudah tidak punya ibu? 

Saya berpikir begitu mungkin karena ada yang belum saya tahu dan saya tahu sedangkan dia sebaliknya. Saya tahu ibunya sudah meninggal dan saya belum tahu rasanya ditinggal ibu, sedangkan dia mungkin saja belum tahu kalau dia punya ibu dan ternyata sudah meninggal, yah, gadis kecil itu tidak pernah melihat ibunya. Pikiran saya terus sibuk memikirkan bagaimana pahitnya kenyataan yang harus dia ketahui setelah dia nantinya mulai beranjak dewasa dan mulai diberikan perasaan-perasaan yang rumit. Keinginan bodoh saya adalah berharap dia tetap menjadi anak gadis kecil lucu yang tetap tertawa-tawa, menertawakan keadaan dan dunia. Jangan cepat besar dik!

Saya ingin sekali menyentuh kepalanya, mengusapnya sebentar. Tetapi selama ke masjid saya tidak pernah bertemu dengan dia seusai shalat. Ahh dia lincah sekali, cepat sekali menyelip-nyelip diantara jama’ah yang keluar masjid. 

Dari jauh saya melihatnya di gandeng oleh neneknya, dia tersenyum manis sekali, tapi saya yang melihatnya merasa ada sedikit perasaan sedih namun bahagia. Saya mendokannya dari jauh. 

Berbahagialah selau gadis kecil.

No comments:

Post a Comment