Saya lupa malam keberapa Ramadhan pikiran-pikiran saya ini muncul,
dan saya baru sempat menuliskannya sekarang. Pikiran ini melintas begitu
saja begitu seusai shalat Isya, ketika MC mengumumkan siapa yang akan
membacakan ayat suci Al-qur’an dan siapa yang akan membawakan ceramah
agama. Mata saya terfokus kepada seorang anak kecil yang begitu lucu,
pipinya tembem, semakin tembem oleh karet kerudungnya yang bermotif
bunga-bunga berwarna biru di bagian bawahnya. Yang pastinya keadaan ini
berlangsung ketika saya berada di kampung.
Ketika perhatian saya hanya tertuju ke anak kecil itu, tiba-tiba adik
saya menyenggol saya, “Itu adiknya Erik,” katanya sambil menyebutkan
salah satu nama tetangga kami, teman saya sewaktu kecil. Saya terdiam,
hendak mengingat-ngingat, dan seketika saya tertegun, “Oh, yang ibunya
sudah meninggal?” tanyaku sambil bisik-bisik, “berarti sekarang dia
tinggal sama neneknya toh?” tanyaku lagi dan disambut anggukan oleh
adikku. Tiba-tiba kami berdua terdiam, saya terdiam bukan karena khusuk
mendengarkan udztas diatas mimbar warna hijau itu menyampaikan
ceramahnya, tetapi sibuk dengan pikiran-pikiran saya sendiri mengenai
gadis kecil itu. Tiba-tiba adik saya berkata lagi, “kasihan di’ masih
kecil.” Ternyata kediaman adik saya juga bukan dikarenakan oleh ceramah
dang udztas.
Sepanjang waktu sebelum shalat sunnah Tarawih dimulai, saya hanya
sibuk dengan pikiran-pikiran saya dan sibuk memperhatikan gadis kecil
itu. Entah kenapa, pikiran saya terlalu sibuk atau malah sudah tidak
pernah memperhatikan keadaan sekitar, sehingga hal sekecil ini membuat
saya merasa terharu. Melihat anak gadis itu tertawa-tawa bersama teman
sebayanya membuat hati saya sedikit teriris, bagaimana rasanya sekecil
itu sudah tidak punya ibu?
Saya berpikir begitu mungkin karena ada yang belum saya tahu dan saya
tahu sedangkan dia sebaliknya. Saya tahu ibunya sudah meninggal dan
saya belum tahu rasanya ditinggal ibu, sedangkan dia mungkin saja belum
tahu kalau dia punya ibu dan ternyata sudah meninggal, yah, gadis kecil
itu tidak pernah melihat ibunya. Pikiran saya terus sibuk memikirkan
bagaimana pahitnya kenyataan yang harus dia ketahui setelah dia nantinya
mulai beranjak dewasa dan mulai diberikan perasaan-perasaan yang rumit.
Keinginan bodoh saya adalah berharap dia tetap menjadi anak gadis kecil
lucu yang tetap tertawa-tawa, menertawakan keadaan dan dunia. Jangan
cepat besar dik!
Saya ingin sekali menyentuh kepalanya, mengusapnya sebentar. Tetapi
selama ke masjid saya tidak pernah bertemu dengan dia seusai shalat. Ahh
dia lincah sekali, cepat sekali menyelip-nyelip diantara jama’ah yang
keluar masjid.
Dari jauh saya melihatnya di gandeng oleh neneknya, dia tersenyum
manis sekali, tapi saya yang melihatnya merasa ada sedikit perasaan
sedih namun bahagia. Saya mendokannya dari jauh.
Berbahagialah selau
gadis kecil.
No comments:
Post a Comment