Wednesday, 21 August 2013

Analogi Sepatu




Aku capek sekali hari ini, kakiku pegal mengitari beberapa tempat perbelanjaan, menemani sepupuku yang lagi ingin membeli sepatu baru padahal sepatu yang dikenakannya baru seminggu yang lalu dibelinya, di rak sepatunya juga bertumpuk-tumpuk sepatu yang masih agak baru.

Aku selalu mengomelinya setiap kali dia mengajakku mencari sepatu baru, dia cerewetnya minta ampun, tidak suka yang pasaran, harus enak dikaki, harus sesuai warna pakaian-pakaianya. Aku terheran-heran ketika menanyakan kepadanya, mau diapakan sepatu sebanyak itu, dan dia menjawab, “Reina, sepatu itu mirip teman kencan, jangan cuma punya satu dong. Usahakan punya beberapa, semuanya harus layak dipamerkan. Ke tempat ini pakai yang ini, ke acara itu gunakan yang ini.” Dan dia mentraktirku ice cream agar tidak membocorkan pengakuan secara tidak langsungnya ini kepada salah satu teman cowoknya yang kukenal. “Tapi, tetap ada sepatu yang paling disukai, paling nyaman dan paling sering digunakan,” lanjutnya kalem sementara aku masih terbengong-bengong.

***
“Reina, sebel banget deh, kemarin aku lihat sepatu lucu banget, sisa satu lagi. Tapi ukurannya nggak cocok buat aku. Aku harus kembali ke toko itu mencobanya sekali lagi.” Begitu katanya diseberang telepon kemarin, dan hari ini aku dan dia sudah berada di toko sepatu yang dimaksudkannya.

“Kalau nggak cocok mau diapa lagi sih Wie?” kataku judes sambil memijit-mijit betisku yang kesakitan. Sebelum ini, aku menemaninya berburu tas.
Sejam kemudian akhirnya dia menyerah dan kami memilih untuk pulang, tapi tetap saja tidak bisa lari dari ingatannya tentang sepatu itu. Tiba-tiba dia berceloteh dengan lesu, “Sepatu itu juga seperti pasangan hidup, semau-maunya kita terhadapnya, betapa inginnya kita memiliki, kalau tidak cocok yang tetap tidak akan  jadi.”

Aku menyetir dalam diam, memaknai kalimatnya.

***
Aku menghempaskan tubuh ke kasurku. Rasa lelah akibat menemani Wie berbelanja tidak terasa, aku malah merasakan ada hal yang aneh yang tengah kurasakan. Rebahan adalah tindakan yang pas, aku merasa dada dan kepalu terasa berat. Ternyata, kasur tidak mampu menahan beratnya.

Aku meraih sebuah kotak di bawah ranjangku. Kotak yang berisi barang-barang dari Fatih, orang yang pernah merasa nyaman tinggal di dalam hatiku. Dulu, aku terlalu mengiginkannya dan dia memanfaatkan itu. Dia seperti Wie, sepupuku, yang punya banyak sepatu. Aku bukanlah satu-satunya sepatunya. Tetapi, aku tidak keberatan dia memakai sepatunya yang lain ketika dia merasa tidak cocok menggunakanku, dan aku mengiyakan dan menemaninya kemanapun dia pergi ketika dia merasa cocok lagi denganku. Sampai mungkin aku sudah benar-benar lusuh dan tidak menarik lagi, dia membuangku.

Memang benar kata Wie, sepatu juga bisa disamakan dengan pasangan. Kalau sudah bosan dan tidak dibutuhkan lagi juga bisa ditinggalkan atau malah dibuang. Aku menimpali kata-katanya dengan versi lain.
Malam itu, aku terus mengingat kebersamaanku dengan Fatih, hingga akhirnya aku capek setelah berjalan terlalu jauh kebelakang, dan akhirnya tertidur.

***
Ternyata insiden kekecewaan terhadap pasangan hidup ala sepatu tempo hari tidak membuat Wie berhenti untuk berburu sepatu lagi. Ini toko ke enam yang kami masuki. Aku menunggu di kursi toko tersebut dan seketika pandanganku terhenti kepada pasangan yang baru saja memasuki toko tersebut. 

Fatih, bersama cewek. Tidak diragukan lagi, dia bisa begitu gampangnya menjerat cewek, segampang dia memakai sepatu. Pandanganku berpaling ketika Wie dengan cengengesannya membawa sepasang sepatu berwarna coklat mengkilap dengan hak setinggi lima sentimeter.

“Akhirnya aku dapat persis seperti sepatu yang kemarin,” katanya riang. “Sepatu seperti pasangan hidup, jangan pernah berhenti mencari,” lanjutnya sambil berbisik. Akupun mendorongnya segera menuju kasir.
Selagi Wie membayar di kasir, aku memilih menunggu di luar, sambil menerawang. Kalau menurut aku, seseorang yang pernah bersama kita itu selayaknya sepatu yang sudah kekecilan, sudah tidak muat jadi lebih baik diberikan ke orang lain yang lebih cocok dan membutuhkannya.

“Yuk, Reina kita pulang. Mungkin dua minggu kedepan tidak ada jadwal baru untuk membeli sepatu, aku ingin menikmati kebersamaan dengan sepatu incaranku ini.”

Oke, sepatu baru juga mirip dengan pasangan baru. Maunya diliatin terus, perginya pake itu terus.

Cerita ini dikutsertakan dalam Lelang Buku Bayar Karya Love Books A Lot Id

1 comment:

  1. Anonymous10/03/2013

    analogi sepatu bagai pasangan ini, bikin saya jadi inget pernah baca kalimat, "sepatu aja ada pasangannya, kok kamu nggak ada"
    hihihi :p

    ReplyDelete