Aku capek sekali hari ini, kakiku
pegal mengitari beberapa tempat perbelanjaan, menemani sepupuku yang lagi ingin
membeli sepatu baru padahal sepatu yang dikenakannya baru seminggu yang lalu
dibelinya, di rak sepatunya juga bertumpuk-tumpuk sepatu yang masih agak baru.
Aku selalu mengomelinya setiap
kali dia mengajakku mencari sepatu baru, dia cerewetnya minta ampun, tidak suka
yang pasaran, harus enak dikaki, harus sesuai warna pakaian-pakaianya. Aku
terheran-heran ketika menanyakan kepadanya, mau diapakan sepatu sebanyak itu,
dan dia menjawab, “Reina, sepatu itu mirip teman kencan, jangan cuma punya satu
dong. Usahakan punya beberapa, semuanya harus layak dipamerkan. Ke tempat ini
pakai yang ini, ke acara itu gunakan yang ini.” Dan dia mentraktirku ice cream agar tidak membocorkan
pengakuan secara tidak langsungnya ini kepada salah satu teman cowoknya yang
kukenal. “Tapi, tetap ada sepatu yang paling disukai, paling nyaman dan paling
sering digunakan,” lanjutnya kalem sementara aku masih terbengong-bengong.
***
“Reina, sebel banget deh, kemarin
aku lihat sepatu lucu banget, sisa satu lagi. Tapi ukurannya nggak cocok buat
aku. Aku harus kembali ke toko itu mencobanya sekali lagi.” Begitu katanya
diseberang telepon kemarin, dan hari ini aku dan dia sudah berada di toko
sepatu yang dimaksudkannya.
“Kalau nggak cocok mau diapa lagi
sih Wie?” kataku judes sambil memijit-mijit betisku yang kesakitan. Sebelum
ini, aku menemaninya berburu tas.
Sejam kemudian akhirnya dia
menyerah dan kami memilih untuk pulang, tapi tetap saja tidak bisa lari dari
ingatannya tentang sepatu itu. Tiba-tiba dia berceloteh dengan lesu, “Sepatu
itu juga seperti pasangan hidup, semau-maunya kita terhadapnya, betapa inginnya
kita memiliki, kalau tidak cocok yang tetap tidak akan jadi.”
Aku menyetir dalam diam, memaknai
kalimatnya.
***
Aku menghempaskan tubuh ke
kasurku. Rasa lelah akibat menemani Wie berbelanja tidak terasa, aku malah merasakan
ada hal yang aneh yang tengah kurasakan. Rebahan adalah tindakan yang pas, aku
merasa dada dan kepalu terasa berat. Ternyata, kasur tidak mampu menahan
beratnya.
Aku meraih sebuah kotak di bawah
ranjangku. Kotak yang berisi barang-barang dari Fatih, orang yang pernah merasa
nyaman tinggal di dalam hatiku. Dulu, aku terlalu mengiginkannya dan dia
memanfaatkan itu. Dia seperti Wie, sepupuku, yang punya banyak sepatu. Aku
bukanlah satu-satunya sepatunya. Tetapi, aku tidak keberatan dia memakai
sepatunya yang lain ketika dia merasa tidak cocok menggunakanku, dan aku
mengiyakan dan menemaninya kemanapun dia pergi ketika dia merasa cocok lagi
denganku. Sampai mungkin aku sudah benar-benar lusuh dan tidak menarik lagi,
dia membuangku.
Memang benar kata Wie, sepatu
juga bisa disamakan dengan pasangan. Kalau sudah bosan dan tidak dibutuhkan
lagi juga bisa ditinggalkan atau malah dibuang. Aku menimpali kata-katanya
dengan versi lain.
Malam itu, aku terus mengingat
kebersamaanku dengan Fatih, hingga akhirnya aku capek setelah berjalan terlalu jauh
kebelakang, dan akhirnya tertidur.
***
Ternyata insiden kekecewaan
terhadap pasangan hidup ala sepatu tempo hari tidak membuat Wie berhenti untuk
berburu sepatu lagi. Ini toko ke enam yang kami masuki. Aku menunggu di kursi
toko tersebut dan seketika pandanganku terhenti kepada pasangan yang baru saja
memasuki toko tersebut.
Fatih, bersama cewek. Tidak
diragukan lagi, dia bisa begitu gampangnya menjerat cewek, segampang dia
memakai sepatu. Pandanganku berpaling ketika Wie dengan cengengesannya membawa
sepasang sepatu berwarna coklat mengkilap dengan hak setinggi lima sentimeter.
“Akhirnya aku dapat persis
seperti sepatu yang kemarin,” katanya riang. “Sepatu seperti pasangan hidup,
jangan pernah berhenti mencari,” lanjutnya sambil berbisik. Akupun mendorongnya
segera menuju kasir.
Selagi Wie membayar di kasir, aku
memilih menunggu di luar, sambil menerawang. Kalau menurut aku, seseorang yang
pernah bersama kita itu selayaknya sepatu yang sudah kekecilan, sudah tidak
muat jadi lebih baik diberikan ke orang lain yang lebih cocok dan
membutuhkannya.
“Yuk, Reina kita pulang. Mungkin
dua minggu kedepan tidak ada jadwal baru untuk membeli sepatu, aku ingin
menikmati kebersamaan dengan sepatu incaranku ini.”
Oke, sepatu baru juga mirip
dengan pasangan baru. Maunya diliatin terus, perginya pake itu terus.
Cerita ini dikutsertakan dalam Lelang Buku Bayar Karya Love Books A Lot Id
analogi sepatu bagai pasangan ini, bikin saya jadi inget pernah baca kalimat, "sepatu aja ada pasangannya, kok kamu nggak ada"
ReplyDeletehihihi :p