Aku memalingkan pandanganku dari
menatap langit siang yang tampak tidak seperti biasanya ke arah laki-laki yang
menegurku barusan.
“Cepat habiskan kopinya, sebelum…”
“Dingin?” aku memotong cepat
perkataannya, “kopiku selalu dingin, aku tidak pernah menyukai kopi panas. Kau
tahu itu,” tambahku.
“Bukan. Habiskan kopinya sebelum
turun hujan, kita harus lekas pulang,” katanya sambil mencubit hidungku. Dia
selalu melakukan itu ketika mendapatiku sok tahu.
Langit siang ini mendung, penuh dengan awan hitam.Tapi, cahaya matahari nakal dan tetap saja ingin mengambil bagiannya. Ini nampaknya sesuatu yang terasa seperti saat tertentu senja kala, ketika cahaya berwarna misterius membangkitkan kenangan istimewa*. Ah, kenangan. Kita selalu menyebut sesuatu itu kenangan jika dia istimewa, dan memilih kata masa lalu ketika sesuatu itu sedikit suram.
“Boleh kita tinggal sebentar lagi? Duduklah!” tawarku. Dia pun menyetujui sambil tetap duduk kemudian menyandarkan bahunya di kursi.
Aku menyeruput kopiku yang masih setengah sambil kembali memandang langit siang yang tidak biasanya itu. Memoriku kembali terusik. Kenangan yang sempat tertidur kini terjaga. Ini seperti senja yang dijanjikannya. Dia selalu mengaku sebagai Sukab**, tokoh fiksi kesukaanku. Dia pergi dengan iming-iming mencarikanku senja terbaik. Tapi, aku bukan perempuan penyuka fiksi yang suka akan fana. Aku memilih mencari Sukab yang lain. Aku tidak akan menunggu sampai gila ditepian senja sambil menunggu laki-laki yang memilih pergi. Tidak.
Aku melirik sekilas laki-laki di hadapanku. Rupanya dia ikut terhanyut oleh pesona siang yang tidak biasanya itu. Dia juga laki-laki yang terobsesi menjadi Sukab. Tetapi dia tidak memilih untuk mencarikan senja terbaik, tetapi menjanjikan tetap menemani disetiap senja terindah.
“Sudah cukup melamunnya?” tegurnya halus.
“Ah, maaf. Aku seperti
terhipnotis oleh siang yang tidak biasa ini,” kataku agak gugup karena sedikit
kaget.
“Kita boleh tinggal beberapa saat
lagi kalau mau.”
“Kamu juga sepertinya sudah terhipnotis
yah?”
“Dulu, kita bertemu di taman saat
senja. Kamu sedang menunggu seseorang mengirimkan senja, katamu.”
Aku ingat perkenalan kami dulu. Aku yang dengan damai duduk dibangku taman tiba-tiba terusik olehnya yang datang dengan nafas terengah-engah sambil memegang amplop berukuran sepuluh kali sepuluh sentimeter. Aku langsung mengira dia Sukab yang dikejar-kejar aparat karena mengerat senja. Belakangan kuketahui dia dikejar anjing.
“Yah, dia menjanjikanku senja terbaik. Kau tahu, senja yang hadir selalu indah, tapi buat apa kalau yang menemani tidak ada. Dan kamu akhirnya hadir.”
“Kau tahu, aku juga dulu sering
menjanjikan seseorang senja. Tapi dia tidak suka senja yang biasa, dia mau
senja yang terbaik, sempurna. Maka aku pergi. Sampai aku menemukanmu yang
menyukai senja apa adanya.”
“Mungkin sekarang dia sudah gila
akibat kelamaan menunggumu,” kataku pelan. Ada sedikit rasa aneh diperutku
mendengar penuturannya. Maka kuteguk sekali lagi kopiku. Rasanya kini sedikit
hambar. Es batu yang memenuhinya sudah mencair.
“Dia tidak menungguku. Dia
menunggu senja yang sempurna.”
“Dia menunggumu membawanya.”
“Senja tidak selamanya sempurna,
tapi selamanya akan indah. Aku memilih perempuan yang mau menghabiskan senja
yang indah bersamaku. Bukan melulu yang menginginkan kesempurnaan.”
Aku tertegun menatapnya. Kau tahu, selalu ada kilatan kecil di mata seseorang ketika dia mengatakan sesuatu dengan penuh kesungguhan. Aku meneguk kopiku yang hambar hingga tandas.
“Ayo Alina**, kita pulang,” ajaknya sambil menggandeng tanganku.
*Kutipan dari Buku 1Q84 Jilid 3 Haruki Murakami
** Sukab dan Alina, tokoh fiksi dalam buku Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja untuk Kekasihku
Jadi penasaran ma Sukab ^^ ehhh Dhan dibawanya sertakan kalimat "diikutkan pada #1bulan1kisah" yang ngelink ke postingannya :p lupaka tulis dipersyaratannya nanti sa edit ^^
ReplyDelete