Wednesday, 13 November 2013

Dear Diary ....

 Dear Diary …

Seperti itulah yang selalu tertera sebagai salam pembuka di dalam buku ini. Bagi siapapun, buku ini sama sekali tidak bagus, apalagi berkesan. Tetapi satu-satunya buku yang paling diincar teman-teman ketika bertandang ke rumah. Berlomba-lomba mencari cara untuk mencuri tahu apa isinya. Kehidupan orang lain memang terkadang terlihat lebih menarik.

Saya senang dengan sesuatu yang terbatas, saya senang memiliki barang-barang yang unik, maka saya membuat buku-buku diary saya sendiri. Secara tidak langsung, untuk membuat buku ini saja saya harus belajar, berimajinasi dan lebih kreatif.



Buku yang nantinya bisa saja menjadi buku autobiografi karangan sendiri. Buku yang menjadi warisan bagi anak dan cucu, kelak ketika mereka dengan tidak sengaja menemukannya di gudang. Karena jujur saja, isinya tidak untuk dipamerkan secara gamblang.

Saya suka mengumpulkan buku-buku catatan kecil sejak SD tetapi mulai menulis ketika saya menginjak SMP, naluri remaja saya yang tumbuh sedikit demi sedikit memerlukan wadah yang cukup mampu menyimpan rahasia untuk bercerita dengan bebas.

Ketika sedang tidak ada kerjaan, saya biasanya membuka-buka kembali buku diary saya. Sekedar untuk bernostalgia sendiri, dan betapa lucunya mendapatkan diri sendiri pernah menulis seperti itu. Mendapatkan tulisan yang saat itu sedang merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan hati dan isinya terdapat kata-kata penyemangat. Ternyata, bisa juga menjadi motivator, walau hanya sebatas untuk diri sendiri. Membuka kembali buku yang berisi tentang kenangan masa lalu membuat saya berpikir, dulu aku terlampau gundah, sedih dan putus asa ketika mendapati masalah pada saat itu dan pada akhirya semua bisa teratasi. Semua akan terlewati karena kita terus berjalan. Akhirnya ketika membaca ulang, yang hanya kita lakukan adalah menertawakan diri kita sendiri.

Membuka kembali buku ini membuat saya mengingat dosa-dosa yang lampau. Tertulis, saya pernah membenci ini, saya pernah tidak suka dia, saya pernah menjahati dia. Tindakan menulis terlalu jujur inilah yang akhirnya dengan tidak sengaja menegur saya bahwa berteman itu tidak pernah mulus. Ada-ada saja yang tidak kita sukai, dan sebaliknya. Mengingatkan saya, bahwa betapa kekanak-kanakannya saya begitu mudah tidak menyukai sesuatu, dan pada akhirnya memberikan pelajaran untuk lebih dewasa dalam meyikapi persoalan dan tidak melihat dari satu sudut pandang. Mengingatkan kita akan kesalahan-kesalahan yang membuat kita kembali berdoa agar diampuni dan berpikir untuk tidak melakukannya lagi. Dalam konteks inilah kalimat jadikan masa lalu sebagai pelajaran, bukan untuk kembali dan berdiam diri, karena hidup terus berlanjut.

Membuka kembali buku ini, membuat saya tergelitik sendiri. Ada cinta monyet, ada suka diam-diam. Menimbulkan rona merah di pipi, walau tidak semerah saat meraskannya. Ada yang datang, ada yang pergi. Mengajarkan lagi bahwa pasangan hidup itu benar-benar misteri. Merasa gembira ketika mendapatkan sesuatu, merasa bersedih ketika sesuatu itu hilang. Bahwa, kehidupan itu memang benar-benar berputar, kita tidak akan pernah merasa bersedih terus, pun tidak dibiarkan bersenang-senang.

Halaman per halaman yang telah saya tulis, membuat saya merenung. Ketika saya berhasil menuliskan halaman-halaman di hari-hari selanjutnya dengan konflik-konflik yang terjadi dalam hidup saya sendiri, berarti saya mampu menjalani masalah tersebut. Karena Tuhan tidak pernah memberikan kita cobaan melebihi kemampuan kita. Kapan hari ketika saya sudah tidak mampu melewati hari-hari yang diberikan Tuhan, maka tidak pula lembaran-lembaran selanjutnya yang berisi coretan saya di buku itu. Karena saya sudah tidak ada lagi.

Dulu, tidak pernah terlintas dibenak saya, menulis buku diary akan membuat hidup saya lebih berarti. Membuat saya belajar atas apa yang terjadi pada kehidupan saya yang lalu-lalu.

Mari terus menulis, karena menulis itu belajar, menyembuhkan, memotivasi, dan membuat kita abadi.




No comments:

Post a Comment