Seperti itulah yang selalu
tertera sebagai salam pembuka di dalam buku ini. Bagi siapapun, buku ini sama
sekali tidak bagus, apalagi berkesan. Tetapi satu-satunya buku yang paling
diincar teman-teman ketika bertandang ke rumah. Berlomba-lomba mencari cara untuk
mencuri tahu apa isinya. Kehidupan orang lain memang terkadang terlihat lebih
menarik.
Saya senang dengan sesuatu yang
terbatas, saya senang memiliki barang-barang yang unik, maka saya membuat
buku-buku diary saya sendiri. Secara tidak langsung, untuk membuat buku ini
saja saya harus belajar, berimajinasi dan lebih kreatif.
Buku yang nantinya bisa saja
menjadi buku autobiografi karangan sendiri. Buku yang menjadi warisan bagi anak
dan cucu, kelak ketika mereka dengan tidak sengaja menemukannya di gudang.
Karena jujur saja, isinya tidak untuk dipamerkan secara gamblang.
Saya suka mengumpulkan buku-buku
catatan kecil sejak SD tetapi mulai menulis ketika saya menginjak SMP, naluri
remaja saya yang tumbuh sedikit demi sedikit memerlukan wadah yang cukup mampu
menyimpan rahasia untuk bercerita dengan bebas.
Ketika sedang tidak ada kerjaan,
saya biasanya membuka-buka kembali buku diary saya. Sekedar untuk bernostalgia
sendiri, dan betapa lucunya mendapatkan diri sendiri pernah menulis seperti
itu. Mendapatkan tulisan yang saat itu sedang merasakan sesuatu yang tidak
mengenakkan hati dan isinya terdapat kata-kata penyemangat. Ternyata, bisa juga
menjadi motivator, walau hanya sebatas untuk diri sendiri. Membuka kembali buku
yang berisi tentang kenangan masa lalu membuat saya berpikir, dulu aku
terlampau gundah, sedih dan putus asa ketika mendapati masalah pada saat itu
dan pada akhirya semua bisa teratasi. Semua akan terlewati karena kita terus
berjalan. Akhirnya ketika membaca ulang, yang hanya kita lakukan adalah
menertawakan diri kita sendiri.
Membuka kembali buku ini membuat
saya mengingat dosa-dosa yang lampau. Tertulis, saya pernah membenci ini, saya
pernah tidak suka dia, saya pernah menjahati dia. Tindakan menulis terlalu
jujur inilah yang akhirnya dengan tidak sengaja menegur saya bahwa berteman itu
tidak pernah mulus. Ada-ada saja yang tidak kita sukai, dan sebaliknya.
Mengingatkan saya, bahwa betapa kekanak-kanakannya saya begitu mudah tidak
menyukai sesuatu, dan pada akhirnya memberikan pelajaran untuk lebih dewasa
dalam meyikapi persoalan dan tidak melihat dari satu sudut pandang.
Mengingatkan kita akan kesalahan-kesalahan yang membuat kita kembali berdoa
agar diampuni dan berpikir untuk tidak melakukannya lagi. Dalam konteks inilah
kalimat jadikan masa lalu sebagai pelajaran, bukan untuk kembali dan berdiam
diri, karena hidup terus berlanjut.
Membuka kembali buku ini, membuat
saya tergelitik sendiri. Ada cinta monyet, ada suka diam-diam. Menimbulkan rona
merah di pipi, walau tidak semerah saat meraskannya. Ada yang datang, ada yang
pergi. Mengajarkan lagi bahwa pasangan hidup itu benar-benar misteri. Merasa
gembira ketika mendapatkan sesuatu, merasa bersedih ketika sesuatu itu hilang.
Bahwa, kehidupan itu memang benar-benar berputar, kita tidak akan pernah merasa
bersedih terus, pun tidak dibiarkan bersenang-senang.
Halaman per halaman yang telah
saya tulis, membuat saya merenung. Ketika saya berhasil menuliskan
halaman-halaman di hari-hari selanjutnya dengan konflik-konflik yang terjadi
dalam hidup saya sendiri, berarti saya mampu menjalani masalah tersebut. Karena
Tuhan tidak pernah memberikan kita cobaan melebihi kemampuan kita. Kapan hari
ketika saya sudah tidak mampu melewati hari-hari yang diberikan Tuhan, maka
tidak pula lembaran-lembaran selanjutnya yang berisi coretan saya di buku itu.
Karena saya sudah tidak ada lagi.
Dulu, tidak pernah terlintas
dibenak saya, menulis buku diary akan membuat hidup saya lebih berarti. Membuat
saya belajar atas apa yang terjadi pada kehidupan saya yang lalu-lalu.
Mari terus menulis, karena
menulis itu belajar, menyembuhkan, memotivasi, dan membuat kita abadi.
No comments:
Post a Comment