Thursday, 5 September 2013

Reuni Cinta Pertama



*Izinkan aku untuk terakhir kalinya, semalam saja bersamamu, mengenang asmara kita.
**Tiada masa paling indah, masa-masa di sekolah.

***
Lagu itu baru saja terdengar, semua serentak menyanyikan lagu tersebut. Semua orang pasti tengah bersuka cita malam ini. Memang, acara paling mengasyikkan itu adalah acara reunian. Yah, sekarang aku tengah berada di tengah-tenagh acara reuni akbar SMPku.
Memasuki sekolah ini, membuatku membuang nafas lega dan agak bersemangat. Haah, ada rasa haru mengingat dengan polosnya dulu berseragam putih-biru, baru beranjak menjadi anak remaja, masih polos dengan membawa sedikit sifat yang masih melekat sewaktu menginjak sekolah dasar, masih bisa tertawa lepas bercerita seolah masalah tidak ada yang terlalu pelik menyelimuti, pun masih mencoba belajar mengenal yang dinamakan cinta. Kata yang selalu membuat orang tergiur untuk merasakannya dan menceritakannya.
            Aku sebenarnya bukan penggila pesta, apalagi acara seramai ini, berada ditengah-tengahnya bisa saja membuat kepala pusing, aku termasuk tipe introvert, tapi demi menyenangkan teman seangkatan, kenapa tidak. Maka aku putuskan untuk sejenak berkeliling sendirian, mencoba menghindari keramaian. Mengelilingi sekolah ini, mataku tak berhenti menyapu didetiap sudut. Aku yang kini sudah menginjak bangku kuliah merasakan sekolah ini benar-benar banyak berubah. Tapi dikepalaku, masih terekam jelas denah sekolah ini pada zamanku dulu. Ahh, ini dulu laboratorium, ini kelasku waktu kelas 1, yang itu waktu kelas 2, yang disana waktu kelas 3 dan ini ahh, lapangan ini. Perutku geli mengingatnya.
Mengingat dulu aku menyukai seseorang yang bermain di lapangan basket ini, semacam sesuatu idola anak-anak SMP, kacangan sekali, membuatku waktu itu ingin mencoba juga untuk belajar bermain basket, kenangku malu-malu. Namun kuakui waktu zaman itu, itu sama sekali bukan kacangan, melainkan perasaan seorang gadis kecil yang akan beranjak gede. Rasa dimana pertama kali merasakan –yang konon katanya- cinta. Ketika kau menyukai lawan jenis secara tiba-tiba, tanpa sebab, memandangnya diam-diam sambil tersenyum dan lagi-lagi tanpa sebab. Itu cinta pertama. Cinta pertama itu selalu indah bukan? Pun selalu tak terlupakan, juga selalu terasa manis, meski hanya dikenang.
Mengingat saya dulu harus mengukur lapangan ini dengan sedotan super kecil karena terlambat datang ke sekolah. Waktu itu guru olahraga saya yang menghukum.
“Kaila! Kamu ini rumahnya dekat kok masih saja terlambat?” Semprot pak guru yang memergokiku terlambat.
“A-anu pak.” Aku hanya menggaruk-garuk kepala karena memang tidak tahu alasan apa yang akan aku berikan.
“Anu, anu, anu. Ini sedotan, ukur berapa kali panjang sedotan ini dengan lapangan basket ini!” pak guru melanjutkan gertakannya seraya menyodorkan sedotan yang sudah disiapkannya bagi anak yang terlambat hari itu.
“Hahaha.”
Upss! Sepertinya aku tertawa terlalu keras.
Aku celingukan mencari apakah ada orang yang menertawai kegilaanku malam ini, sungguh tidak lucu jika mereka menganggapku benar-benar gila akibat mengingat masa lalu.
***
Pandanganku yang menyapu sekeliling sekolah tiba-tiba terhenti.
Itu dia, si kakak kelas, dia datang juga rupanya.
Sejenak memandangi dari sini, dari jauh. Tepat seperti yang dulu kulakukan. Tentu kau tahu rasanya, meskipun sudah tidak menyimpan perasaan yang sama seperti dulu, tetap saja memori rasa yang telah tersimpan dulu itu pasti masih memberikan respon. Meski yang dahulu respon deg-degan dan tidak menentu, kini berganti menjadi geli.
Yaa ampun, dia tetap dengan predikat si raja tebar pesona. Lihat saja gayanya, seperti hendak memaksa orang agar gayanya terlihat. Benar-benar tak berubah.
Senyumku pun terbentuk. Aduh, dia melihat kesini. Melihat kearahku yang tengah memperhatikannya. Dia datang menghampiriku, tentu saja masih dengan gayanya yang kuakui bisa membuat siapa saja akan terpesona hingga lupa cara bernafas dengan benar.
Ohh tenang saja, ini acara reunian, bukan waktu semasa SMP, tak perlu gugup dan mengalihkan pandangan seperti tempo dulu. Cukup say hello!
Ini benar-benar nostalgia yang gila. Kucoba mengalihkan kegugupanku sebelum dia sampai ke hadapanku dengan mengambil ponsel dikantongku. Ohh ternyata dia telah mengirimkan sebuah pesan untuk bertemu malam ini. Sepertinya dia juga ingin bernostalgia.
“Hai, apa kabar?” Tanyanya seperti kebanyakan orang yang baru bertemu kembali dan tidak mempunyai stok kata yang lebih banyak. Basa-basi.
“Baik kak, kalau kakak?” Tanyaku dengan basa-basi juga. Sama halnya dengan dia, akupun tidak mempunyai stok kata yang banyak. Kalau dia tidak baik-baik saja toh dia tidak akan berdiri  dihadapanku.
Diawali dengan sedikit basa-basi, kamipun bercerita, tertawa mengenang masa-masa dulu. Sesekali aku mencuri pandang untuk menatapnya. Matanya tetap berbinar seperti yang dulu, tapi sepertinya kedewasaan telah membuatnya semakin berbinar. Semua pasti bisa berubah, termasuk perasaan. Dulu, aku pikir dia yang benar-benar aku cari, setelah menghilang, kupikir aku tidak bisa melanjutkan perasaan-perasaanku yang telah dimatikannya. Tapi sekarang, kami bahkan menertawai semua yang telah kami lewati. Waktu memang pandai mengubah apa saja.
***
7 tahun yang lalu
_________
Entah kenapa tiba-tiba tergila-gila dengan vespa. Yah, vespa, entah kendaraan itu keluaran tahun berapa. Aku jadul? Oh, jadul itu romantis loh!
Pertama masuk sekolah menengah pertama ini, tiba-tiba pandanganku terhenti di tempat parkir sekolah baruku ini.

Vespa.
Mataku tertahan di vespa biru tua itu. Oh, punya guruku, pikirku. Entah apa lagi yang ada dikepalaku saat itu, karena hasrat ingin mencoba merasakan naik motor vespa.
Harus bisa dekat dengan guru yang punya vespa itu, biar nanti bisa menumpang di vespanya saat pulang sekolah
. Eitts, bukan maksud menciptakan skandal di sekolah. Itu mengerikan. Cek percek, vespa itu memang kepunyaan guruku, tapi beliau sudah tua, kalem pula, bagaimana caraku mendekatinya? Ahh, lupakan saja.
***
Hari ini jadwal sekolah sore, lelaki itu pasti senior, aku memperhatikannya agak lama, manis. Akupun lebih detail memperhatikannya.
 Oh Tuhan, senior itu, yang kemarin kulihat bermain basket. 
Aku bersorak dalam hati dengan mengangkat kedua kepalan tanganku keatas dengan mata tertutup gemas.
Dia mendekati vespa biru tua itu, menaikinya. Saya terbengong diam memandangi punggungnya yang lama-lama menghilang serta pantat si vespa biru tua itu pun ikut menghilang.
Dia pemilik vespa biru tua itu juga? Yang berarti dia anak guru saya? Oh astaga, bagaimana bisa saya menggilai vespa biru tua itu dan pemiliknya? Oh, lupakan saja niat untuk menaiki vespa itu secara full, tidak akan sepertinya.
Tiba-tiba aku merasakan pundakku merendah lalu aku berabjak keluar pintu gerbang sekolah sambil menggeleng-gelengkan kepala. Menjadi anak yang dewasa itu ternyata merepotkan. Aku meniup poniku dan berjalan pulang dengan gontai.
***
Suatu sore di sekolah. Kembali sekolah sore lagi. Sudah selesai. Hendak pulang. Teman-teman yang lain masih ingin berada di sekolah lebih lama, aku pun pulang sendirian.
Piiip… piiip…. Piiip.
Dengan ogah-ogahan aku membalikkan badan, biasa cara lelaki yang menggoda seperti ini sudah tertebak, klise. Dan ohh, lupakan perkataanku barusan. Ketika berbalik, yang kutemui siapa? Lelaki itu dengan vespa biru tuanya, ditambah dengan senyum manisnya, membuatku menarik nafas dan lupa membuangnya beberapa detik.
Oh Tuhan anugerah sore ini indah tiada tara.
“Tidak keberatan naik vespa tua? Mari aku antar.”
Oh Tuhan sepertinya saya tiba-tiba tidak mengenal kata basa-basi. Iyah, pasti mau.
“Boleh.” Aku menjawab dengan pipi terasa hangat.
Alhasil, akupun bertengger manis dijok belakang vespa biru tua yang membuatku ngiler beberapa waktu belakangan dan duduk di belakang laki-laki ini yang membuatku tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Hari ini pasti aku akan tidur nyenyak.
Saking senang, senang tiada tara, sampai-sampai aku tidak memperhatikan jalan. Tiba-tiba vespa berhenti, tepat di depan rumahku. Begong lagi, ini bukan karena sindrom senang, tapi heran.
Dia tahu rumah aku?
“Nanti malam, siap-siap yah, aku jemput lagi, mari…” dia berkata dan memecahkan kebengongan sesaatku.
Masih dengan muka tolol, tapi senyumku masih bisa tersungging. Dia pun berlalu tanpa membiarkanku menjawab iyah atau tidak, mengingat aku yang masih dilanda  kesyockan.
Tadi dia bilang apa? Nanti malam? Menjemputku? Oh, Tuhan. Semua terasa mengejutkan.
Ah, dia pandai mencari situasi dan suasana yang tepat untukku untuk tidak bisa berkata tidak dan tanpa sengaja untuk mengiyakan kemauannya.

***
Bunyi khas vespa terdengar di depan rumah. Aku pun sudah siap sedia setelah kurang lebih setengah jam mondar-mandir tidak penting di depan cermin. Anak gadis yang akan beranjak dewasa mana yang tidak melakukan hal itu untuk kencan pertama yang sangat diinginkan? Akupun keluar rumah setelah meminta izin dan mari berkeliling. Dia menyambut dengan senyum manis.
Mamanya pasti ngidam gula waktu mengandungnya.
“Tahu darimana rumah saya?” kataku membuka percakapan.
“Dari dulu, hehe.”
Jawabannya membuatku mengerutkan kening, dalam. Malam ini tengah bulan purnama. Cantik. Tiba-tiba aku berceletuk pelan.
“Bulannya cantik.”
“Ah, tidak, dia tidak punya mata, hidung dan mulut.”
“Tetap saja cantik,” protesku.
Itu membuatnya tertawa kecil, dan kembali hening.
Oh, topik apa yang bagus Tuhan?
Anak gadis mana yang sibuk mencari topik pembicaraan yang bagus itu seperti apa dengan lawan jenis kalau saja dia belum akan beranjak dewasa?
“Mau kemana kak?”
“Ketemu teman-teman saya.”
Jawabannya lagi-lagi membuat aku syock, kali ini bukan hanya keningku yang berkerut, tapi matuku yang juga ikut membelalak.
“Kamu pasti senang bertemu dengan mereka,” lanjutnya.
Saya bisa apa? Pasrah tepatnya, ini benar-benar peculikan. Lalu, siapa yang menganggap sebuah penculikan itu mengerikan kalau yang menculik adalah sebuah pangeran idaman?

Hah, ibu ngidam apa waktu hamilin aku yah? Kok bisa konyol begini?

***
“Ini Hadi dengan vespa kuningnya, namanya Bonte.”
“Ini Andre dengan vespa birunya juga.”
“Ini Muadz dengan vespa merahnya, namanya Red Devil.”

Kakak ini memperkenalkan teman-temannya beserta vespa-vespa temannya. Yapp, kejutan lagi, disini banyak vespa.
“Nanti kamu bisa pilih mau minta diantar sama siapa, mereka pasti siap.”
Oh, saya merasa jadi memiliki segalanya.
“Jadi, siapa gadis manis ini? Tanya si pemilik vespa merah.
“Dia pacar saya,” jawabnya sambil melirik kearahku dengan senyum mautnya.
“Maukan jadi pacar saya?” lanjutnya.

Lelaki ini bisa membuat saya mati didetik keberapa saja hari ini, bayangkan saja, begitu banyak ke-syock-an yang dia berikan.
***
“Terima kasih untuk hari ini,” katanya masih dengan senyum mautnya setelah kami sudah berada di depan rumahku.
“Terima kasih juga,” kataku dengan  tak kalah memberikan senyum manis sambil menyodorkan helm yang tadi kugunakan.
***
Kamu pastinya sudah tahu kan, jawaban apa yang aku berikan atas pertanyaannya yang terakhir?
Kamu tahu, sepenuhnya, cinta itu tak pernah bertepuk sebelah tangan.

________

“Hahaha.”
Kami berdua tertawa-tawa mengenang masa sekolah kami dulu, perutku sampai sakit dibuatnya. Disela tawaku yang masih belum benar-benar terhenti, tiba-tiba dia memegang tanganku dan menatapku. Sudah kubilang, kedewasaan telah mengubahnya.
“Maaf, dulu aku tidak bisa membahagiakanmu berlama-lama.”
“Ah, namanya juga masih kecil, belum pintar membahagiakan orang lain sepenuhnya.” Aku menjawab dengan sedikit menunduk. Agak mengutuk perasaanku yang sedikit terenyuh tadi atas sikapnya.
“Reuni ini sungguh menyenangkan, lebih tepatnya reuni tentang masa kita.
Dia menekankan kata kita sambil mengedipkan mata ke arahku dan tersenyum kemudian beranjak pergi. Aku menghembuskan napas dengan mata terpejam dan tersenyum tanda bahagia.
Ya, sangat menyenangkan.
Akupun menghapus sedikit bulir air yang tidak jadi menjadi air mata disudut mataku dengan telunjukku, lalu tersenyum memandangi punggungnya yang terus menjauh dan menghilang tanpa pernah menoleh itu.
***

Memandang sekeliling lagi, kulihat semua orang tersenyum sumringah. Pasti mereka tengah memikirkan hal yang sama denganku, memikirkan kenangan mereka. Mengingat hal gila yang mereka lakukan di sekolah ini dulu.

Dan mereka pasti bergumam…
**Malu aku malu, pada semut merah, yang berbaris di dinding menatapku curiga, seakan penuh Tanya, sedang apa disana?

Ahh, selamat bernostalgia dan selamat gila semalam.

***

* Reza – Berharap Tak Berpisah
** Chrisye – Kisah Kasih di Sekolah
_________

No comments:

Post a Comment