Thursday, 5 September 2013

Jejak Kenangan Bekas Banjir



Ini adalah cerpen saya yang pernah dimuat di harian FAJAR edisi 20 Januari 2013 di rubrik BUDAYA 

________
            Aku meremas-remas betis dan pahaku yang terasa ngilu secara bergiliran. Meringis menahan perih luka yang terdapat ditelapak kakiku akibat menginjak batu-batu tajam, kerikil-kerikil dan rumput-rumput yang berduri karena tidak memakai alas kaki, menahan sakitnya kepalaku akibat bermandi-mandi hujan serta kebanyakan berendam saat banjir selama dua hari itu tapi, tidak ada yang bisa mengalahkan rasa sakit hatiku.
Aku terus berjalan menerobos banjir mengikuti rombongan orang-orang yang mengantar jenazah ke tempat pemakaman yang terletak diatas gunung. Sungguh, menahan perih luka ditubuh, hati yang sakit serta air mata yang terus berjatuhan secara bersamaan tidak akan pernah mudah. Tapi, aku mampu melakukan semua itu demi mengantarmu ke tempat yang paling tenang, bahkan akupun tidak bisa mengusikmu lagi.
________
            Aku menatap nanar ke genangan air sisa banjir yang menyuguhkan bentuk gelombang-gelombang kecil akibat dari rintik-rintik hujan yang masih saja turun. Angin bertiup sangat kencangnya, sampai-sampai ada pohon yang tumbang.

Apa angin sekencang ini, bisa menerbangkan rinduku ke kamu Jul?

Banjir pergi meninggalkan bekas, dia juga pergi membawamu, meninggalkan kenangan.
           
“Jul, nanti naik motor aja yah, biar bisa main-main hujan.”

Kamu selalu mengiyakan setiap kali aku ingin ditemani menikmati hujan, meski kamu akan memarahiku sebelumnya, mengingatkan bagaimana nanti kalau aku sampai sakit kemudaian akan kembali memarahiku setelahnya karena mengeluh tidak enak badan.

Sebenarnya ini kan yang aku suka? Hujan. Hujan sepanjang hari.

Apa yang akan terjadi padaku dengan hari berhujan setelah ini? Suka tidak sanggup, benci tidak mau. Kenapa semuanya harus terjadi di hari berhujan, kenapa harus kamu yang pergi? Kenapa harus aku yang ditinggal? Kenapa kita?
Aku tetap menatap lurus keluar jendela ke tempat dimana nyawamu menghilang yang juga turut melenyapkan sebagian nyawaku. Kamu tidak akan selalu sendiri, karena kamu membawa sebagian nyawaku, hanya aku yang kini sepi dengan bermodalkan setengah nyawa.

Kamu kok cepat sekali perginya?

“Jul, pake helm aja.”
“Kamu suka main hujan-hujannya setengah-setengah deh, mana asyik main hujan pakai motor kalau masih tetap pakai helm juga.”
“Nanti kena tilang polisi loh, takut.”
“Nanti aku juga akan jadi polisi, nanti kamu bebas mau naik motor hujan-hujan tanpa berhelm, aku tidak akan tilang. Lagian tidak ada polisi tahu kalau hujan.”

Kamu belum menepati janji kamu yang satu itu, menjadi polisi.

Air mataku menetes. Masih terasa ketika saat itu kamu mengatakan cita-cita kamu untuk menjadi polisi sambil mengacak-ngacak rambutku yang basah kemudian menyuruhku naik keatas motor besarmu yang berwarna hijau hitam yang kubalas dengan pelukan erat ketika aku sudah duduk di jok belakang. Aku menghapus air mataku –yang bagaikan air hujan di luar, semakin deras dan tak kunjung berhenti- dengan tanganku.

“Naik mobil saja yah Rin, hujannya deras sekali.”
“Iya deh.”

Kelakuanmu agak berbeda dari biasanya, yang kamu bilang hanya tengah mencoba lebih romantis dengan cara lebih sabar lagi menghadapi aku yang memang keras kepala.
Katamu aku membuatmu kembali jatuh cinta seperti pertama kali kita jadian dulu. Kamu tiba-tiba lebih sering membukakan pintu mobil, megeluarkan kursi untukku dan menyilakanku duduk setiap kali ketika kita akan makan di sebuah tempat makan, kamu yang berinisiatif untuk pergi memesan makanan yang biasanya harus aku yang melakukannya sendiri, memperlakukanku bak seorang puteri dan aku sangat senang atas semua yang serba sebentar itu. Seminggu kemudian kamu malah mengacuhkanku bahkan malah meninggalkanku sendirian. Terimakasih sudah sempat melakukan itu semua untukku.
Akupun membenamkan kepalaku dalam-dalam, mengusap wajahku dengan kasar. Mataku mulai perih, tapi aku tetap menangis tanpa bersuara, masih menatap genangan air di luar sana. Aku kemudian memeluk lututku, merasa kedinginan sekaligus sudah tidak sanggup menahan gejolak hati.

Juli, kehilangan tidak pernah sedih dan bahagia sekaligus seperti ini. Kamu sengaja kan, meninggalkan kenangan indah , yang bahkan kkesedihan karena kehilanganmupun bisa tertutupi.

“Gimana Ren, aku sudah semakin ganteng, kan?”
“Ganteng sekaliiii.”

Kamu, yang sudah ratusan bahkan ribuan kali kuperingati agar mencukur rambutmu yang agak panjang itu menjadi lebih cepak biar kelihatan lebih rapi, hanya mengiyakannya dibibir saja. Tetapi hari itu kamu muncul dengan potongan rambut baru, potongan rambut yang selalu aku inginkan menghiasi kepalamu.
Aku tertawa getir sambil terus mengeluarkan air mata, sudah tidak kuat membedakan antara harus tertawa ataukah menangis bahwa seharusnya tertawa itu tempatnya tidak sama dengan menangis.

“Ren, foto berdua yuk.”
“Hah?”

Satu lagi yang tidak akan pernah habisnya aku fikirkan ketika kamu langsung menarikku menuju stan foto box yang terdapat di dalam mall, sewaktu kamu mengantarkanku ke gramedia membeli beberapa buah buku. Selama-lamanya kita bersama kamu tidak akan pernah mau berfoto, apalagi berfotonya sama aku bagaimanapun cara aku memaksa kamu.
Kenapa tiba-tiba kamu jadi narsis waktu itu yah?

Aku menghapus air mataku. Senyumku tersungging kecil, kali ini aku benar-benar tersenyum, aku kangen kamu.
“Reni, kok lampunya belum dinyalakan, sayang? Tumben senang gelap-gelapan gini, sudah magrib loh, sana shalat dulu!” Aku yang mendengar suara Ibu dari jauh segera menghapus air mataku dengan cepat dan mencoba seperti biiasanya ketika Ibu mulai menyalakan semua lampu rumah, namun tidak berhasil. Ibu kemudian mendekat ke arahku.
“Masih tentang Juli? Sudah, tidak boleh meratapi orang yang sudah tidak ada, lebih baik kita mendoakan yang terbaik buatnya.” Ibu kemudian merangkulku, hangat.
_____
            Tiba-tiba aku mengingat sebuah kalimat dari sebuah film yang aku tonton. Kau tahu, hidup adalah perjalanan ke sana, ke surga. Tempat dimana tidak ada rasa sakit dan perpisahan. Kamu telah menuju kesana, kamu hanya perlu menungguku.
Terimakasih sudah menghabiskan sisa hidupmu dengan mencintaiku, sampai bertemu kembali di alam sana. Aku mencintaimu.
________
Boyong, 5 Januari 2013
Didedikasikan kepada Almarhum Julianto.
Banjir terbesar setelah beberapa tahun tidak penah melanda Kabupaten Jeneponto, Sul-Sel.

No comments:

Post a Comment