Thursday, 26 September 2013

Pelajaran dari Tikus Nakal



Selama beberapa pekan ini, saya lupa kapan terakhir kali saya uring-uringan di pagi hari. Pagi selalu membuat saya merasa senang. Sampai tiba dimana ketika saya ingin pulang ke kampong halaman saya dan ingin membawa serta sepatu saya. Sepatu yang kunobatkan sebagai sepatu kesayangan, yang selalu kusebut-sebut sebagai Givi. Kenapa suka, karena itu adalah hadiah dari Bapak ketika saya wisuda. Bukan persoalan harganya, tetapi karena momen dimana saya mendapatkan sepatu itu. Itu kenapa saya menamainya Givi , dari kata Give.

Sepatu saya itu rusak, digigit tikus!

Bisa membayangkan kekesalan saya pagi itu?

Saya langsung berteriak histeris, sampai tante saya masuk tergopoh-gopoh ke dalam kamar dan mendapati saya sedang meringis menatap sepatu saya. Tidak aka nada yang dapat merasakan kekesalan saya kecuali saya sendiri. Terbukti tante saya malah tertawa-tawa.

Saya bisa apa? Mengumpat dan memarahi tikus yang menggigit sepatu saya? Oh, itu sungguh mustahil. Alhasil saya cuma kehilangan selera untuk berbahagia seharian. Memikirkan bagaimana saya harus memperbaiki Givi. Bagaimana saya harus berbesar hati memberitahu Bapak sepatu yang dia belikan malah rusak secepat itu. Bagaimana bisa tikus nakal itu mencium aroma sepatu saya yang tersimpan apik di dalam kardunya di atas lemari.

Kisah saya dan Givi pagi itu kembali memberikan saya pelajaran bahwa, semua yang kita miliki hanya bersifat sementara. Kalau tidak hilang, yah rusak. Bahwa kita akan tetap kehilangan walau kita menjaga dengan baik kepunyaan kita, apalagi jika tidak. Maka dari itu sekiranya kita tetap menjaga apapun yang menjadi milik kita, dan tetap ikhlas ketika kita kehilangannya. Karena suatu saat pasti aka nada gantinya yang lebih baik, hanya butuh waktu dan kesabaran.

Nanti, kalau Bapak ada rezeki lagi, pasti dia akan membelikan sepatu yang lebih cantik.

Sekarang, sepatu saya itu ada di kampung, berusaha diperbaiki oleh Bapak :)

No comments:

Post a Comment