Selama beberapa pekan ini, saya lupa kapan terakhir kali
saya uring-uringan di pagi hari. Pagi selalu membuat saya merasa senang. Sampai
tiba dimana ketika saya ingin pulang ke kampong halaman saya dan ingin membawa
serta sepatu saya. Sepatu yang kunobatkan sebagai sepatu kesayangan, yang
selalu kusebut-sebut sebagai Givi. Kenapa suka, karena itu adalah hadiah
dari Bapak ketika saya wisuda. Bukan persoalan harganya, tetapi karena momen
dimana saya mendapatkan sepatu itu. Itu kenapa saya menamainya Givi , dari kata Give.
Sepatu saya itu rusak, digigit tikus!
Bisa membayangkan kekesalan saya pagi itu?
Saya langsung berteriak histeris, sampai tante saya masuk
tergopoh-gopoh ke dalam kamar dan mendapati saya sedang meringis menatap sepatu
saya. Tidak aka nada yang dapat merasakan kekesalan saya kecuali saya sendiri.
Terbukti tante saya malah tertawa-tawa.
Saya bisa apa? Mengumpat dan memarahi tikus yang menggigit
sepatu saya? Oh, itu sungguh mustahil. Alhasil saya cuma kehilangan selera
untuk berbahagia seharian. Memikirkan bagaimana saya harus memperbaiki Givi.
Bagaimana saya harus berbesar hati memberitahu Bapak sepatu yang dia belikan
malah rusak secepat itu. Bagaimana bisa tikus nakal itu mencium aroma sepatu
saya yang tersimpan apik di dalam kardunya di atas lemari.
Kisah saya dan Givi pagi itu kembali memberikan saya
pelajaran bahwa, semua yang kita miliki hanya bersifat sementara. Kalau tidak
hilang, yah rusak. Bahwa kita akan tetap kehilangan walau kita menjaga dengan
baik kepunyaan kita, apalagi jika tidak. Maka dari itu sekiranya kita tetap
menjaga apapun yang menjadi milik kita, dan tetap ikhlas ketika kita
kehilangannya. Karena suatu saat pasti aka nada gantinya yang lebih baik, hanya
butuh waktu dan kesabaran.
Nanti, kalau Bapak ada rezeki lagi, pasti dia akan
membelikan sepatu yang lebih cantik.
Sekarang, sepatu saya itu ada di kampung, berusaha
diperbaiki oleh Bapak :)
No comments:
Post a Comment