“Temenin ke Warung Legenda yah!”
“Lagi?”
****
Sudah beribu kali Manda menyuruhku
mengantarnya ke tempat salah satu wisata kuliner yang terdapat di Sungai
Musi. Hampir semua makanan yang ada disitu pernah kami cicipi, pempek,
model, tekwan semuanya. Dan hari ini dia mengajakku lagi. Sudah beribu
kali juga aku melarangnya ke warung itu. Seperti namanya, warung
legenda, sahabatku itu punya legenda termanis sekaligus terperih di
warung itu, itu kenapa dia selalu ingin kesana. Terkadang seseorang tidak ingin bersedih, tetapi malah dia yang membuat dirinya terus-terusan bersedih. Aku bukannya melarangnya mengingat legendanya, kita memang tidak bisa melupakan sesuatu begitu saja, ia akan terus meninggalkan bekas, tapi dia seperti orang yang kerasukan setiap kesana. Kerjanya cuma melamun, tertawa sendiri kemudian menangis, lalu apa gunanya aku yang selalu diajaknya ketika sampai disana dia malah asik dengan dunianya sendiri, bernostalgia sendiri. Aku tak akan bisa melihatnya seperti itu. Walaupun kesal, sungguh, sebagai orang terdekatnya aku sangat kasihan melihatnya.
****
“Fani, ke sananya pas sore saja yah!”
“Iyah, hal apa yang bisa buat saya bilang tidak?”
****
Kalau menyangkut soal Manda, hal apa yang
bisa membuatku bilang tidak? Dia sahabat terbaikku yang selalu ada. Dia
memang sering kesana ketika menjelang senja. Dia suka sekali dengan
senja, tak jarang ketika dia kesana memakai dress yang berwarna jingga.
Katanya, “Jingga diujung senja itu indahnya mirip pipi gadis yang lagi
jatuh cinta.”
Memang sih, untuk menikmati Sungai Musi dan
Jembatan Ampera didekatnya itu cocoknya di waktu senja menjelang malam.
Jembatan Ampera dipasangi Led Sign, lampu
hias dengan 12 karakter dan 9 warna yang silih berganti bercahaya yang
cuma bisa dinikmati kalau malam hari. Lampu-lampu yang terpasang seakan
mampu menyihir mata. Seperti melihat bintang-bintang yang tergantung
rendah, katanya.
“Aku selalu jatuh cinta setiap melihat dia
Fan.” Katanya sambil menerawang, kemudian memandang matahari yang sudah
tampak ingin segera pulang. Ketika itu, entah sudah kali berapa kami
makan di Warung Legenda.
“Berarti, sekarang kamu sudah punya alasan
untuk tidak seperti itu kan, setelah tidak pernah melihatnya?” kataku
pelan dan sangat hati-hati. Tapi sepertinya walaupun berhati-hati
bagaimanapun, perkataanku akan selalu salah. Kini dia menatapku sinis,
tajam dan kemudian membuang muka.
Manda memang penganut karakter melankolis,
menyukai hal-hal yang romantis, manis, dan sangat peka, tidak heran
kalau dia begitu terlarut dalam kisahnya sendiri, dan malah
terus-terusan berada didalamnya dan sangat sulit untuk terlepas darinya.
****
“Hari ini, mungkin hari terakhir aku
menginjakkan kaki disini untuk waktu yang sangat lama,” kata Manda
membuka percakapan sore ini ketika menunggu pesanan pempek kami datang.
“Loh, mau kemana?”
“Tempat ini, jembatan itu, kota ini, serasa terus menghantui. Kalau disini terus, aku tidak bisa lupakan Dimas.”
“Itu karena kamunya yang tidak mau melupakan.”
“Karena dia tak bisa dilupakan.”
Begitulah Manda, dia berubah keras kepala kalau menyangkut Dimas.
Sudah beberapa kali aku mencomblanginya dengan teman-teman cowokku yang
kuanggap cocok untuknya, tapi dia tidak memberi celah sedikitpun untuk
seseorang mengintip, apalagi membukanya lebar-lebar untuk orang itu
masuk. Dia terlalu, entahlah. Mungkin terlalu bahagia bersemayam di
ruang nostalgianya. Harus aku akui, siapapun itu, pastilah akan
merasakan bahagia tersendiri bila sudah masuk kedalam dunia kenangan,
dunia nostalgia. Semua yang indah ada didalamnya. Mungkin tidak mengenal
patah hati. Yang namanya kenangan mungkin memang akan selalu baik.
Dimas yang telah memberikan
kenangan termanis di hidupnya, yang menyatakan cintanya pertama kali di
warung ini, yang melamarnya di bawah kerlap-kerlip lampu Jembatan
Ampera, dan selalu bilang kepadanya bahwa dialah yang tercantik karena
pipinya serupa jingga diujung senja. Dimas pulalah yang menoreh luka
dihatinya sampai sekrang, mengakhiri hubungannya di Rumah sakit dan
mengubur ingatannya tentang Manda bersama jasadnya, serta
meninggalkannya di dunia yang mendoktrin Manda kalau dia cuma tinggal
seorang diri sekarang.
Benar memang, cinta itu buta.
No comments:
Post a Comment