Pulang, ialah kemana tempatmu merasa bahagia.
Dan, disinilah saya, di kampung halaman
dengan perasaan suka cita, menikmati libur yang cuma sedikit, setidaknya
mengisi ulang perasaan yang telah dimakan oleh rindu-rindu terhadap
rumah dan kampung halaman serta orang-orang didalamnya. Bergelut dengan
kehidupan kota, tinggal dikompleks perumahan yang pagarnya melebihi
tinggi rumah dengan orang-orang yang tinggal dikompleks adalah pekerja
yang super sibuk, bertegur sapa saja bisa tidak terjadi selama seminggu,
siapapun akan merindukan suasana hidup bertetangga di kampung,
rumah-rumah berjejer tanpa pagar pemisah.
Saya kembali mengingat tempo dulu waktu masih
bersekolah, ada banyak tetangga yang seumuran, sewaktu kecil setiap
sore kami akan bermain dende, lompat tali atau main bongkar pasang,
setelah agak gede, kami bergantian berkumpul disalah satu rumah
diantara kami, bergossip atau setidaknya membuat acara, membuat bakwan
atau pisang epe. Sekarang tetangga-tetangga saya itu juga sudah mengadu
nasib di kota-kota. Jadi, setiap pulang, saya hanya bisa mengamati
anak-anak bermain sesama seumuran mereka. Permainan yang persis sewaktu
saya masih kecil, tidak seperti anak-anak dikota yang lebih suka main
game di gadget milik orang tua mereka.
Sore pertama kedatangan saya, saya memilih
duduk-duduk di teras rumah menyapu pandangan sekitar rumah, motor yang
jarang melintas, pohon-pohon dan bunga disetiap rumah membuat udara
semakin sejuk disaat cuaca kali ini sedang tidak menentu.
Tetangga sebelah kanan sedang mencari kutu di
tangga rumahnya, sampai berjejer tiga. Posisi paling bawah adalah sang
Ibu dan diatasnya sang anak diatasnya lagi adik sang anak. Posisi
mencari kutu juga tetap memasang prinsip senioritas, yang paling
juniorlah yang tersiksa, hehe.
“Serunya cari kutu,” teriakku.
“Eh, Dhani, kapan datang?”
“Tadi malam tante,” jawabku.
Dan percakapan kami terhenti oleh ulah anak
dari tetangga depan rumah kami, Zaki, nama anak itu, kira-kira berusia
dua setengah tahun. Dia tiba-tiba tidur di tengah jalan dengan
santainya. Aku tiba-tiba berteriak memperingati wanita yang tadi
kupanggil tante, “Tante, awas nanti ada motor, mana ibunya Zaki?” Si
tante yang tadinya asyik dicarikan kutunya tiba-tiba berlari mengambil
si anak ketika ada motor yang melintas. Tapi herannya, anak itu malah
mengamuk, menangis sejadi-jadinya ketika dilarang bermain apalagi tidur
ditengah jalan. Aku tersenyum melihatnya, betapa bebasnya anak-anak ini,
mereka bisa bermain sepuasnya dan menangis tanpa ada rasa malu. Kita
orang dewasa, menitikkan air mata di depan umum rasanya gengsi.
“Ibunya tidur pulas di dalam,” kata si tante memberi informasi, Zaki yang digendongnya terus memberontak.
Aku kembali berpikir, anak ini mungkin lagi
meminta perhatian Ibunya, yang meninggalkannya tidur. Caranya cukup
ekstrim, saya saja tidak akan melakukan hal itu untuk meminta perhatian
dari siapa saja, nah kembali ke anak-anak, betapa liarnya pikiran
mereka, sampai tak terpikirkan bagi kita orang dewasa.
Disela tangisan Zaki, suara perempuan
tentangga depan rumah satunya lagi terdengar mengeluh dan memamerkan
keluhannya kepada kami tetangga-tetangganya, sebuah keluhan yang bisa
merangkap sebagai informasi. “Aduh, bunga anggrek saya patah, pasti
lagi-lagi karena ayam liar itu melompatinya,” amuknya.
“Kasi naikmi ke tempat yang lebih tinggi mamanya Risa,” kata si tante memberi solusi.
Suara tangisan Zaki tidak terdengar lagi,
ternyata Ibunya sudah bangun. Benar kan, dia hanya mencari perhatian
sang Ibu. Haha, ada-ada saja. Kini dia duduk dipangkuan sang Ibu-yang
masih terkantuk-kantuk tapi tetap memasang senyum tulus untuk
anaknya-sambil mengisap dot yang berisi penuh susu. Memang seperti
itulah Ibu, secapek apapun kalau itu menyangkut anaknya, semua yang
tidak mengenakkan akan sirna.
No comments:
Post a Comment