Monday, 19 August 2013

Pulang, Rumah, Tetangga

Pulang, ialah kemana tempatmu merasa bahagia.

Dan, disinilah saya, di kampung halaman dengan perasaan suka cita, menikmati libur yang cuma sedikit, setidaknya mengisi ulang perasaan yang telah dimakan oleh rindu-rindu terhadap rumah dan kampung halaman serta orang-orang didalamnya. Bergelut dengan kehidupan kota, tinggal dikompleks perumahan yang pagarnya melebihi tinggi rumah dengan orang-orang yang tinggal dikompleks adalah pekerja yang super sibuk, bertegur sapa saja bisa tidak terjadi selama seminggu, siapapun akan merindukan suasana hidup bertetangga di kampung, rumah-rumah berjejer tanpa pagar pemisah. 

Saya kembali mengingat tempo dulu waktu masih bersekolah, ada banyak tetangga yang seumuran, sewaktu kecil setiap sore kami akan bermain dende, lompat tali atau main bongkar pasang, setelah agak gede, kami bergantian berkumpul disalah satu rumah diantara kami, bergossip atau setidaknya membuat acara, membuat bakwan atau pisang epe. Sekarang tetangga-tetangga saya itu juga sudah mengadu nasib di kota-kota. Jadi, setiap pulang, saya hanya bisa mengamati anak-anak bermain sesama seumuran mereka. Permainan yang persis sewaktu saya masih kecil, tidak seperti anak-anak dikota yang lebih suka main game di gadget milik orang tua mereka.

Sore pertama kedatangan saya, saya memilih duduk-duduk di teras rumah menyapu pandangan sekitar rumah, motor yang jarang melintas, pohon-pohon dan bunga disetiap rumah membuat udara semakin sejuk disaat cuaca kali ini sedang tidak menentu. 

Tetangga sebelah kanan sedang mencari kutu di tangga rumahnya, sampai berjejer tiga. Posisi paling bawah adalah sang Ibu dan diatasnya sang anak diatasnya lagi adik sang anak. Posisi mencari kutu juga tetap memasang prinsip senioritas, yang paling juniorlah yang tersiksa, hehe.

“Serunya cari kutu,” teriakku.
“Eh, Dhani, kapan datang?”
“Tadi malam tante,” jawabku.

Dan percakapan kami terhenti oleh ulah anak dari tetangga depan rumah kami, Zaki, nama anak itu, kira-kira berusia dua setengah tahun. Dia tiba-tiba tidur di tengah jalan dengan santainya. Aku tiba-tiba berteriak memperingati wanita yang tadi kupanggil tante, “Tante, awas nanti ada motor, mana ibunya Zaki?” Si tante yang tadinya asyik dicarikan kutunya tiba-tiba berlari mengambil si anak ketika ada motor yang melintas. Tapi herannya, anak itu malah mengamuk, menangis sejadi-jadinya ketika dilarang bermain apalagi tidur ditengah jalan. Aku tersenyum melihatnya, betapa bebasnya anak-anak ini, mereka bisa bermain sepuasnya dan menangis tanpa ada rasa malu. Kita orang dewasa, menitikkan air mata di depan umum rasanya gengsi.
“Ibunya tidur pulas di dalam,” kata si tante memberi informasi, Zaki yang digendongnya terus memberontak.
Aku kembali berpikir, anak ini mungkin lagi meminta perhatian Ibunya, yang meninggalkannya tidur. Caranya cukup ekstrim, saya saja tidak akan melakukan hal itu untuk meminta perhatian dari siapa saja, nah kembali ke anak-anak, betapa liarnya pikiran mereka, sampai tak terpikirkan bagi kita orang dewasa.

Disela tangisan Zaki, suara perempuan tentangga depan rumah satunya lagi terdengar mengeluh dan memamerkan keluhannya kepada kami tetangga-tetangganya, sebuah keluhan yang bisa merangkap sebagai informasi. “Aduh, bunga anggrek saya patah, pasti lagi-lagi karena ayam liar itu melompatinya,” amuknya.
Kasi naikmi ke tempat yang lebih tinggi mamanya Risa,” kata si tante memberi solusi.

Suara tangisan Zaki tidak terdengar lagi, ternyata Ibunya sudah bangun. Benar kan, dia hanya mencari perhatian sang Ibu. Haha, ada-ada saja. Kini dia duduk dipangkuan sang Ibu-yang masih terkantuk-kantuk tapi tetap memasang senyum tulus untuk anaknya-sambil mengisap dot yang berisi penuh susu. Memang seperti itulah Ibu, secapek apapun kalau itu menyangkut anaknya, semua yang tidak mengenakkan akan sirna.

No comments:

Post a Comment