Terlalu cepat untuk memenuhi permintaan kasur di jam delapan malam.
Aku memutuskan untuk menyeduh kopi, kegiatan yang memang setiap malam
aku lakukan, meski aku tetap khawatir dengan lingkaran hitam disekitar
mataku yang membuatku seperti panda saja. Aku menuju dapur dengan
langkah terseret, walau kau senang dengan pekerjaanmu, tetap saja capek
menghampiri, dan satu-satunya teman yang baik adalah segelas kopi.
Sebagus-bagusnya pekerjaan, tetap saja ada sesuatu lainnya yang tidak
bagus, teman-teman didalamnya misalnya. Ada yang memandang sinis
kearahku ketika acara festival sore tadi berlangsung, ketika gitaris
salah satu pemain band, berbisik kepadaku untuk mengulur waktu tampil
mereka, lebih sinis lagi ketika saat istirahat kami duduk berdua sambil
tertawa-tawa. Aku terus mengaduk kopiku sambil mengingat kejadian hari
ini. Aku memang tidak suka bergosip, tapi menggerutu dalam hati adalah
cara ampuh untuk mengeluarkan emosi yang tertampung.
Tapi, buat apa memikirkan yang tidak baik ketika ada hal yang sangat
menyenangkan ikut terjadi? Aku menyeruput kopiku, asapnya
menabrak-nabrak wajahku, hangat. Cara menikmati kopi memang begitu
caranya, perlahan. Rugi rasanya menghabiskan segelas kopi dengan cepat.
Aku masih mengingat dengan jelas suaranya yang berbisik di telingaku,
walau bukan kata-kata romantis yang dikeluarkan oleh bibirnya. Tapi kau
pasti juga tahu, hal kecil apapun kalau menyangkut suka, pasti semuanya
indah. Saat dia memetik gitar, wajahnya yang menyerngit ketika
memainkan melodi-melodi, sungguh membuat desiran-desiran aneh disekujur
tubuhku. Aku sudah beberapa kali memandu acara festival musik seperti
ini, bertemu dengan pemain-pemain band cowok yang semua sama kerennya,
tetapi aku melihat sang gitaris tadi itu berbeda. Sekali lagi, kalau
menyangkut suka, apapun terlihat beda pada diri orang yang disukai.
Aku kembali menyeruput kopiku, dan tersentak. Aku lupa meniupnya,
asapnya masih mengepul, membuatku kembali kekesadaran awal, dan kemudian
tersenyum. Ada yang lain dari senyumanku kali ini, senyum malu-malu.
Aku merasakan lidahku melepuh kecil, akibat air kopi yang panas tadi,
membuatku kembali tersenyum, ini adalah hal bodoh kecil ketika seseorang
masuk dalam tahap mengenal kata suka dan cinta.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan menghabiskan kopiku sambil membaca-baca. Begitu aku membalikkan badan, aku melihat ayah berdiri dengan satu tangan bersandar di pintu dapur dengan cengiran jahil.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan menghabiskan kopiku sambil membaca-baca. Begitu aku membalikkan badan, aku melihat ayah berdiri dengan satu tangan bersandar di pintu dapur dengan cengiran jahil.
“Aduh, sakral amat acara seduh kopinya. Pake acara senyum-senyum sampai pipi merah begitu, lama lagi.”
“Ayah….”
“Ayah….”
Tapi, aku tahu mataku tidak bisa berbohong. Mataku mengeluarkan
isyarat-isyarat kejujuran bagi matanya yang sudah berpengalaman melihat
binar-binar kasih yang tumbuh, kali ini tumbuh dimata anaknya. Dan, aku
tetap menyimpan kikuk dan malu, karena kutahu dari matanya, memancarkan
bahwa beliau tahu apa yang tengah kurasakan.
Tulisan ini diikutkan dalam #tantangannulis oleh Jia Efendi lanjutan dari deskripsi diri Sindy ^^
No comments:
Post a Comment