Tuesday, 20 August 2013

Warisan Mata Yang Tidak Bisa Bohong

Terlalu cepat untuk memenuhi permintaan kasur di jam delapan malam. Aku memutuskan untuk menyeduh kopi, kegiatan yang memang setiap malam aku lakukan, meski aku tetap khawatir dengan lingkaran hitam disekitar mataku yang membuatku seperti panda saja. Aku menuju dapur dengan langkah terseret, walau kau senang dengan pekerjaanmu, tetap saja capek menghampiri, dan satu-satunya teman yang baik adalah segelas kopi.
Sebagus-bagusnya pekerjaan, tetap saja ada sesuatu lainnya yang tidak bagus, teman-teman didalamnya misalnya. Ada yang memandang sinis kearahku ketika acara festival sore tadi berlangsung, ketika gitaris salah satu pemain band, berbisik kepadaku untuk mengulur waktu tampil mereka, lebih sinis lagi ketika saat istirahat kami duduk berdua sambil tertawa-tawa. Aku terus mengaduk kopiku sambil mengingat kejadian hari ini. Aku memang tidak suka bergosip, tapi menggerutu dalam hati adalah cara ampuh untuk mengeluarkan emosi yang tertampung.
Tapi, buat apa memikirkan yang tidak baik ketika ada hal yang sangat menyenangkan ikut terjadi? Aku menyeruput kopiku, asapnya menabrak-nabrak wajahku, hangat. Cara menikmati kopi memang begitu caranya, perlahan. Rugi rasanya menghabiskan segelas kopi dengan cepat.
Aku masih mengingat dengan jelas suaranya yang berbisik di telingaku, walau bukan kata-kata romantis yang dikeluarkan oleh bibirnya. Tapi kau pasti juga tahu, hal kecil apapun kalau menyangkut suka, pasti semuanya indah. Saat dia memetik gitar, wajahnya yang menyerngit ketika memainkan melodi-melodi, sungguh membuat desiran-desiran aneh disekujur tubuhku. Aku sudah beberapa kali memandu acara festival musik seperti ini, bertemu dengan pemain-pemain band cowok yang semua sama kerennya, tetapi aku melihat sang gitaris tadi itu berbeda. Sekali lagi, kalau menyangkut suka, apapun terlihat beda pada diri orang yang disukai. 

Aku kembali menyeruput kopiku, dan tersentak. Aku lupa meniupnya, asapnya masih mengepul, membuatku kembali kekesadaran awal, dan kemudian tersenyum. Ada yang lain dari senyumanku kali ini, senyum malu-malu. Aku merasakan lidahku melepuh kecil, akibat air kopi yang panas tadi, membuatku kembali tersenyum, ini adalah hal bodoh kecil ketika seseorang masuk dalam tahap mengenal kata suka dan cinta.
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan menghabiskan kopiku sambil membaca-baca. Begitu aku membalikkan badan, aku melihat ayah berdiri dengan satu tangan bersandar di pintu dapur dengan cengiran jahil. 

“Aduh, sakral amat acara seduh kopinya. Pake acara senyum-senyum sampai pipi merah begitu, lama lagi.”
“Ayah….”

Tapi, aku tahu mataku tidak bisa berbohong. Mataku mengeluarkan isyarat-isyarat kejujuran bagi matanya yang sudah berpengalaman melihat binar-binar kasih yang tumbuh, kali ini tumbuh dimata anaknya. Dan, aku tetap menyimpan kikuk dan malu, karena kutahu dari matanya, memancarkan bahwa beliau tahu apa yang tengah kurasakan.

Tulisan ini diikutkan dalam #tantangannulis oleh Jia Efendi lanjutan dari deskripsi diri Sindy ^^

No comments:

Post a Comment