Tuesday, 20 August 2013

Menunggu Lampu Hijau

Gambar diambil dari http://pixabay.com/p-66309/?no_redirect
“Ketemu di mana?” tanyaku ditelepon.
“Sudah kangen kamu rupanya,” candamu.
“Jangan banyak bergurau, cepatlah.”
“Di bangku taman, Jam Gadang. On time yah!”

****
Itulah percakapan singkatku dengannya tadi pagi ditelepon. Entahlah, apa yang membuatnya menghubungiku lagi, paling dia ingin curhat karena baru diputuskan pacarnya. Kebiasaan. Aku pernah protes padanya, kenapa baru menghubungi kalau lagi sedih? Dan jawaban dia adalah bersyukurlah, berarti kamu yang mampu buatku bahagia kembali. Dengan entengnya dia berkata begitu, tidak dengarkah dia gemuruh di dadaku yang lebih besar dari suara detak jarum jam gadang ini? Huuuuffht aku menghela nafas panjang sambil meniup poniku dan terus memperhatikan jam raksasa di depanku yang fungsinya mengingatkan orang akan waktu. Menunggu, dan lagi-lagi aku yang menunggunya. Di sini, di taman tempat ketemuan yang katanya harus on time.

*****
“Dinda, sudah lama?” tegurmu tiba-tiba yang sudah duduk disampingku dengan basa-basi andalanmu.
“Masih perlu kujawab? Di depanmu ada pengingat waktu raksasa, mestinya kamu malu mengajak saya ketemuan disini dan kamu telat,” jawabku ketus.
“Ada perlu apa, tiba-tiba mengajakku kesini?” tanyaku ketika kudapati dia hanya duduk terdiam disampingku.
“Aku ingin kamu.”

Kalimat yang to the point itu sontak membuatku terlonjak kaget, yang benar saja. Oh, mungkin aku masih bermimpi? Atau ini sekedar imajinasiku karena terlalu lama menunggunya?
 ‘awww’ jeritku dengan suara kecil setelah mencubit pahaku secara sembunyi-sembunyi. Sakit.

“Mengapa dulu tiba-tiba kau menyerah pada hubungan kita? Kau berhenti, kau menghidupkan lampu merah. Mestinya kamu tetap menghidupkan lampu hijau, demi kita,” lanjutmu.
“Aku tahu, kita dulunya lebih suka saat bertemu lampu merah di jalan ketika pulang, agar kita lebih lama berdua menikmati perjalanan,” sambungmu dengan suara yang semakin mengecil.
‘Arrrgh’ jeritku lagi dalam hati dengan muka meringis.

Kenapa dia malah mengingatkanku akan itu semua yang telah lama kucoba untuk lupakan? Yah, betapa bahagianya dulu ketika bersamanya. Bertemu lampu lalu lintas yang warnanya merah, kemacetan, tidaklah membuat kami uring-uringan, malah membuat kami semakin senang karena bisa lebih lama bersama. Tapi seketika aku membenci ketika lampu lalu lintas itu berubah menjadi warna merah ketika aku melihatnya bersama wanita lain berangkulan mesra diatas motor. Merekapun tengah bergembira menikmati lampu merah. Ternyata bukan denganku saja dia menikmatinya.

“Akupun tahu, kini kau tak suka dengan lampu merah lagi setelah peristiwa itu,” lanjutmu seolah-olah dapat membaca pikiranku.
“Aku akan menggantinya Dinda, akan kuganti kalimatnya, bukan lagi menikmati lampu merah.”
Aku menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya ketika dia menghentikan kalimatnya, sampai dia kembali melanjutkannya.
“Dinda, maukah kamu menunggu lampu hijau lagi denganku?” tanyamu dengan mata berbinar penuh harap.
Tak pernah aku melihat wajahmu seperti itu, menaruh harap padaku. Sungguh, pertanyaan itu sangatlah biasa namun sangat manis ditelingaku, dan apapun itu, jika kamu yang mengucapkan aku pasti akan sangat menyukainya. Hanya saja kamu tak pernah menyadarinya.
“Akupun tetap ingin menunggu lampu hijau denganmu Adrian.”
Sudah lama peritiwa di lampu merah itu, entah sudah berapa kali jarum jam gadang itu berputar. Setiap putarannya membersihkan kenangan pahit saat mengetahui dia mendua. Namun putarannya tak mampu membuat kenangan manisku padanya terhapus. Karena itulah aku memaafkannya dan menyalakan lampu hijau lagi untuknya

No comments:

Post a Comment