Tuesday, 20 August 2013

If Tomorrow Never Comes

So tell that someone that you love
Just what you’re thinking of
If tomorrow never comes
- Ronan Keeting
 
Aku memandangi kedua cewek yang kini sama-sama tertidur pulas di ranjang. Aku memijit-mijit kepalaku yang agak sakit. Kami bertiga sudah bersahabat sejak lama. Kini kami berada di apartemen Diandra, menginap bertiga dan hanya aku seorang yang berbeda jenis kelamin. Sudah sangat biasa bagi kami, toh aku tidur di bawah. Kebiasaan ini kami lakukan saat satu di antara kami ada yang terkena masalah, ujung-ujungnya aku hanya kebagian disuruh untuk pergi membeli makanan kecil -yang katanya penghilang stress- kemudian menyaksikan mereka para cewek saling curhat dan mengeluarkan sumpah serapah kepada cowok yang menghianati mereka di depanku tanpa sungkan mengingat aku sendiri adalah cowok, kemudian memperhatikan mereka menangis tersedu-sedu dengan lembar tissue di mana-mana. Cewek benar-benar tidak mengingat adanya penghematan tissue dalam rangka go green ketika mereka patah hati. 
Di atas sebuah sofa panjang berwarna coklat keemasan di sudut kamar, tempat yang menjadi kasur bagiku setiap menginap di sini, aku mengamati kedua sahabatku ini lebih tepatnya mengamati Diandra. Aku, Diandra, Emma sudah seperti saudara, begitu yang selalu kami ungkapkan ketika orang-orang bertanya perihal kedekatan kami. Tetapi jauh dari apa yang mereka tahu, aku memendam perasaan terhadap Diandra. Aku kadang mengutuk perasaan ini, tetapi ternyata perasaan terhadap Diandra inilah yang terlebih dulu mengutukku, untuk tetap menyanjungnya.
Seperti sekarang ini, setiap kali kami menginap bersama, aku tidak akan pernah bisa tertidur pulas, hanya ingin menyaksikan tubuh Diandra yang terbaring dengan elegan, bibirnya yang tipis terkatup damai dan sialnya pemandangan Diandra yang sedang tertidur selalu membuatku serasa menonton film laga, membuatku selalu terjaga. Di antara kami, Diandralah yang paling manja, mengingat dia adalah anak satu-satunya dalam keluarganya. Dia begitu bergantung kepada aku dan Emma, terlebih aku. Dalam situasi seperti inilah, membuatku selalu berpikir, seperti apa dirinya tanpa aku dan Emma? Ketergantungannya kepadakulah yang selalu memberikan semangat tersendiri buatku yang tidak mampu mengungkapkan cinta, apapun akan kulakukan untuknya. Aku kadang bingung, tidakkah sahabat perempuanku yang satu ini peka terhadap perasaanku? Aku mencoba hampir setiap hari dan setiap waktu memberikan dia perhatian. Aku yang selalu siap sedia ketika dia tiba-tiba menelpon karena pacarnya tidak sempat menjemput, atau segera meluncur ke apartemennya saat tengah malam dia kelaparan dan tidak ada stok makanan di lemarinya, dan sialnya kenapa bukan aku yang dicintai dia. Mungkin begitulah semua perempuan. Butuh pernyataan sebagai pengukan dan jaminan sah terhadap perasaan kita sebagai lelaki, mereka ingin diakui tanpa bisa menebak perasaan dengan sendirinya.
Aku melirik ke arah jam dinding berwarna biru toska, seingatku itu jam dinding yang ingin sekali dimiliki Diandra, waktu itu aku segera membelikannya untuknya. “Terima kasih Abi, setiap lihat jam ini pasti aku ingat kamu,” begitulah katanya ketika paket jam dinding itu tiba di rumahnya. Sangat ironis sekali setiap kami bertemu yang dibicarakannya adalah pacarnya. Mengingatku di setiap jam tidak cukup Diandra, aku ingin dicintaimu setiap waktu. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari, beginilah aku dan di setiap malam-malam lainnya, selalu berharap masih bisa menikmati esok bersama Emma, terlebih Diandra, meski belum bisa memberanikan diri untuk menyatakan cintaku, setidaknya aku tetap ingin memberikan sesuatu yang kusebut cinta untuknya meski dia tidak menganggapnya demikian, selalu ingin memberikannya tanpa pernah merasa cukup, terus berpikir seakan esok tidak ada lagi dan aku tidak bisa melihatnya lagi. Aku beranjak ke kasur mencium kening Diandra kemudian membelai rambut Emma, dan kembali ke peraduanku, mencoba memejamkan mata dan terus berharap esok masih ada, dan masih ada pula kesempatan dan keberanian untukku untuk menyatakan cinta.
***
Aku memandanginya. Sosok pria yang tersimpan dalam hati. Ya, Abi. Abi membelai lembut rambutku, rasanya membuat jantungku bergetar. Abi sosok yang begitu aku kagumi, sosok yang perhatian dan mengisi relung hatiku.
            Aku mulai menaruh hati padanya saat masa SMA. Waktu itu aku adalah murid pindahan, masih asing dengan suasana sekolah dan kota Jakarta. Saat perkenalan di depan kelas, aku merasa canggung, lalu sosok Abi mencoba mencairkan suasana kelas yang sunyi saat aku perkenalan. Abi banyak bertanya mengenai nama lengkapku, tinggal di mana, asalnya dari kota apa, dan lain-lain. Apa yang dilakukannya malah menenangkanku, karena Abi juga sedikit bercanda saat itu.
Abi bertanya, “Boleh main nggak kalau malam-malam ke rumah kamu, Emma? Kalau boleh aku sekalian nginep deh.” Lalu seisi ruangan tertawa geli. Aku hanya mengembangkan sebaris senyuman tanpa ada jawaban pada Abi.
Lalu, dengan tingkah Abi yang tidak bisa diam, Abi menarik satu bangku dan tersenyum padaku, “Duduk di sini ya, Neng.” Abi memberikan cengiran kepadaku, yang kubalas dengan tawa renyah malu-malu. Ternyata, tempat duduk Abi ada di depan mejaku.
Sejak itu, aku dan Abi jadi berteman baik. Abi selalu berusaha mengajakku mengobrol, mengajak makan siang dan seringnya kami belajar bersama. Abi sosok yang menyenangkan, ramah dan senang berteman dengan siapa saja. Tetapi dia memang sedikit memiliki teman dekat, dan baru satu yang kuketahui saat  itu. Yaitu Diandra.
Diandra saat itu berbeda kelas dengan kami, sosoknya cantik dan ramah. Diandra begitu dekat dengan Abi, bahkan mereka sering kali datang dan pulang sekolah bersama-sama. Diandra pintar, banyak yang menyukainya tetapi Diandra tidak sombong akan hal itu. Dia malah bersikap biasa saja, menganggap semuanya teman. Sejak beberapa kali berkumpul bersama Abi dan Diandra, kami akhirnya semakin dekat dan akrab.
Berteman dengan Diandra sangat menyenangkan, seorang sahabat perempuan yang bisa berbagi kisah dan hal-hal lain sesama wanita. Diandra selalu bersedia di saat aku membutuhkannya, dia selalu menghibur, menemani dan mendengarkan cerita-ceritaku. Satu-satunya sahabat perempuan yang kupunya.
Namun ada sesuatu yang menghalanginya, saat ini. Terasa sedikit berbeda persahabatan kami. Mengapa? Karena Diandra adalah wanita yang disukai dalam diam oleh Abi. Walau Diandra sudah memiliki kekasih, tetapi Abi tetap setia dengan perasaannya itu. Bagaimana aku tahu? Jelas sekali, setiap Abi duduk berhadapan dengan Diandra, matanya berbinar terang. Nanar. Tertuju lurus pada Diandra.
Walau Abi berusaha mengelak setiap tertangkap basah olehku saat diam-diam memandangi Diandra, tetapi aku tahu pasti tentang perasaannya itu. Bahkan, tanpa Abi harus mengatakannya. Karena, aku tidak sanggup mendengarkannya.
Ya, aku menyukai Abi. Sejak di masa SMA hingga sekarang. Sama seperti perasaan Abi kepada Diandra, perasaanku ke Abi juga mencintai dalam diam. Aku hanya bisa mencintai dalam diam, tidak mampu berkata. Karena aku tidak mau membuat Abi harus memilih. Tetapi, Abi berhak tahu. Ada seseorang yang diam-diam menyukai, menyayangi dan mencintainya. Jika hari esok tidak datang lagi, apa bisa aku tetap diam? Tentu tidak. Aku akan menyesal. Merana. Sedih dan sakit.
Suatu hari, aku mengatakannya pada Abi. Ya kuungkapkan semua perasaanku padanya. “Aku mencintaimu. Aku berlindung di balik kata sahabat akan perasaan ini, Bi,” ucapku. Abi berdiri memandangiku dengan ekspresi kaget. Matanya terbelalak, mulutnya tertutup rapat seakan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Abi berdiri dalam diam, sambil membelai lembut rambutku.
Lalu sekarang, aku harus menangis. Bukan karena cintaku yang tidak bertemu di ujung jalan, melainkan karena Abi yang sedang terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit. Abi sahabatku, pria yang kucintai, kini sedang tidur pulas dengan sakit yang dideritanya. Aku tidak lagi bisa melihat dirinya yang begitu menyenangkan yang selalu menghiasi hari-hariku, walau sebagai sahabat karibku.
***
Matahari pagi kurasa sudah menyentuh kulitku, tapi aku merasa kepalaku sangat berat, aku mencoba berdiri dan terjatuh, kudengar jeritan Diandra membangunkan Emma, dan kudengar Emma pun menangis. Entah selang beberapa jam atau malah hari, aku merasakan tubuhku dipenuhi alat-alat kedokteran dan aku tetap tidak sanggup membuka mata. Kudengar suara Emma, menangis di sampingku seorang diri, lamat-lamat kudengar dia menyesal telah menaruh hati padaku, kudengar dia memaki-maki dirinya selalu cemburu ketika melihat aku lebih perhatian kepada Diandra tanpa kadang tidak memperdulikannya, dan kudengar dia mengutuk-ngutuk dirinya yang tidak pernah berani mengutarakan ini semua kepadaku dan malah dengan pengecutnya membongkar perasaannya ketika aku malah tidak bisa mendengarnya.
Sebisa mungkin kugerakkan tanganku, aku merasakan bisa menggenggam tangannya. Dalam hati aku mengutuk diriku seperti Emma mengutuk dirinya, Diandra bahkan tidak ada di sini, tidak akan pernah dia tahu bagaimana perasaanku terhadapnya seperti aku yang sudah tahu perasaan Emma, dia tidak akan tahu, dan aku sudah tidak punya waktu lagi. Tidak akan ada lagi hari esok untukku.

Cerpen ini hasil dari duet bersama Dania Sunshine

No comments:

Post a Comment