So tell that someone that you love
Just what you’re thinking of
If tomorrow never comes
- Ronan Keeting
Aku
memandangi kedua cewek yang kini sama-sama tertidur pulas di ranjang. Aku
memijit-mijit kepalaku yang agak sakit. Kami bertiga sudah bersahabat sejak
lama. Kini kami berada di apartemen Diandra, menginap bertiga dan hanya aku
seorang yang berbeda jenis kelamin. Sudah sangat biasa bagi kami, toh aku tidur
di bawah. Kebiasaan ini kami lakukan saat satu di antara kami ada yang terkena
masalah, ujung-ujungnya aku hanya kebagian disuruh untuk pergi membeli makanan
kecil -yang katanya penghilang stress- kemudian menyaksikan mereka para cewek
saling curhat dan mengeluarkan sumpah serapah kepada cowok yang menghianati
mereka di depanku tanpa sungkan mengingat aku sendiri adalah cowok, kemudian
memperhatikan mereka menangis tersedu-sedu dengan lembar tissue di mana-mana. Cewek benar-benar tidak mengingat adanya
penghematan tissue dalam rangka go green ketika mereka patah hati.
Di
atas sebuah sofa panjang berwarna coklat keemasan di sudut kamar, tempat yang
menjadi kasur bagiku setiap menginap di sini, aku mengamati kedua sahabatku ini
lebih tepatnya mengamati Diandra. Aku, Diandra, Emma sudah seperti saudara,
begitu yang selalu kami ungkapkan ketika orang-orang bertanya perihal kedekatan
kami. Tetapi jauh dari apa yang mereka tahu, aku memendam perasaan terhadap
Diandra. Aku kadang mengutuk perasaan ini, tetapi ternyata perasaan terhadap
Diandra inilah yang terlebih dulu mengutukku, untuk tetap menyanjungnya.
Seperti
sekarang ini, setiap kali kami menginap bersama, aku tidak akan pernah bisa
tertidur pulas, hanya ingin menyaksikan tubuh Diandra yang terbaring dengan
elegan, bibirnya yang tipis terkatup damai dan sialnya pemandangan Diandra yang
sedang tertidur selalu membuatku serasa menonton film laga, membuatku selalu
terjaga. Di antara kami, Diandralah yang paling manja, mengingat dia adalah
anak satu-satunya dalam keluarganya. Dia begitu bergantung kepada aku dan Emma,
terlebih aku. Dalam situasi seperti inilah, membuatku selalu berpikir, seperti
apa dirinya tanpa aku dan Emma? Ketergantungannya kepadakulah yang selalu
memberikan semangat tersendiri buatku yang tidak mampu mengungkapkan cinta,
apapun akan kulakukan untuknya. Aku kadang bingung, tidakkah sahabat
perempuanku yang satu ini peka terhadap perasaanku? Aku mencoba hampir setiap
hari dan setiap waktu memberikan dia perhatian. Aku yang selalu siap sedia
ketika dia tiba-tiba menelpon karena pacarnya tidak sempat menjemput, atau
segera meluncur ke apartemennya saat tengah malam dia kelaparan dan tidak ada
stok makanan di lemarinya, dan sialnya kenapa bukan aku yang dicintai dia.
Mungkin begitulah semua perempuan. Butuh pernyataan sebagai pengukan dan
jaminan sah terhadap perasaan kita sebagai lelaki, mereka ingin diakui tanpa
bisa menebak perasaan dengan sendirinya.
Aku
melirik ke arah jam dinding berwarna biru toska, seingatku itu jam dinding yang
ingin sekali dimiliki Diandra, waktu itu aku segera membelikannya untuknya.
“Terima kasih Abi, setiap lihat jam ini pasti aku ingat kamu,” begitulah
katanya ketika paket jam dinding itu tiba di rumahnya. Sangat ironis sekali
setiap kami bertemu yang dibicarakannya adalah pacarnya. Mengingatku di setiap
jam tidak cukup Diandra, aku ingin dicintaimu setiap waktu. Jam sudah
menunjukkan pukul 02.00 dini hari, beginilah aku dan di setiap malam-malam
lainnya, selalu berharap masih bisa menikmati esok bersama Emma, terlebih
Diandra, meski belum bisa memberanikan diri untuk menyatakan cintaku,
setidaknya aku tetap ingin memberikan sesuatu yang kusebut cinta untuknya meski
dia tidak menganggapnya demikian, selalu ingin memberikannya tanpa pernah
merasa cukup, terus berpikir seakan esok tidak ada lagi dan aku tidak bisa
melihatnya lagi. Aku beranjak ke kasur mencium kening Diandra kemudian membelai
rambut Emma, dan kembali ke peraduanku, mencoba memejamkan mata dan terus
berharap esok masih ada, dan masih ada pula kesempatan dan keberanian untukku
untuk menyatakan cinta.
***
Aku
memandanginya. Sosok pria yang tersimpan dalam hati. Ya, Abi. Abi membelai
lembut rambutku, rasanya membuat jantungku bergetar. Abi sosok yang begitu aku
kagumi, sosok yang perhatian dan mengisi relung hatiku.
Aku mulai menaruh hati padanya saat
masa SMA. Waktu itu aku adalah murid pindahan, masih asing dengan suasana
sekolah dan kota Jakarta. Saat perkenalan di depan kelas, aku merasa canggung,
lalu sosok Abi mencoba mencairkan suasana kelas yang sunyi saat aku perkenalan.
Abi banyak bertanya mengenai nama lengkapku, tinggal di mana, asalnya dari kota
apa, dan lain-lain. Apa yang dilakukannya malah menenangkanku, karena Abi juga sedikit
bercanda saat itu.
Abi
bertanya, “Boleh main nggak kalau malam-malam ke rumah kamu, Emma? Kalau boleh
aku sekalian nginep deh.” Lalu seisi ruangan tertawa geli. Aku hanya mengembangkan
sebaris senyuman tanpa ada jawaban pada Abi.
Lalu,
dengan tingkah Abi yang tidak bisa diam, Abi menarik satu bangku dan tersenyum
padaku, “Duduk di sini ya, Neng.” Abi memberikan cengiran kepadaku, yang
kubalas dengan tawa renyah malu-malu. Ternyata, tempat duduk Abi ada di depan
mejaku.
Sejak
itu, aku dan Abi jadi berteman baik. Abi selalu berusaha mengajakku mengobrol,
mengajak makan siang dan seringnya kami belajar bersama. Abi sosok yang
menyenangkan, ramah dan senang berteman dengan siapa saja. Tetapi dia memang
sedikit memiliki teman dekat, dan baru satu yang kuketahui saat itu. Yaitu Diandra.
Diandra
saat itu berbeda kelas dengan kami, sosoknya cantik dan ramah. Diandra begitu
dekat dengan Abi, bahkan mereka sering kali datang dan pulang sekolah
bersama-sama. Diandra pintar, banyak yang menyukainya tetapi Diandra tidak
sombong akan hal itu. Dia malah bersikap biasa saja, menganggap semuanya teman.
Sejak beberapa kali berkumpul bersama Abi dan Diandra, kami akhirnya semakin
dekat dan akrab.
Berteman
dengan Diandra sangat menyenangkan, seorang sahabat perempuan yang bisa berbagi
kisah dan hal-hal lain sesama wanita. Diandra selalu bersedia di saat aku
membutuhkannya, dia selalu menghibur, menemani dan mendengarkan
cerita-ceritaku. Satu-satunya sahabat perempuan yang kupunya.
Namun
ada sesuatu yang menghalanginya, saat ini. Terasa sedikit berbeda persahabatan
kami. Mengapa? Karena Diandra adalah wanita yang disukai dalam diam oleh Abi.
Walau Diandra sudah memiliki kekasih, tetapi Abi tetap setia dengan perasaannya
itu. Bagaimana aku tahu? Jelas sekali, setiap Abi duduk berhadapan dengan
Diandra, matanya berbinar terang. Nanar. Tertuju lurus pada Diandra.
Walau
Abi berusaha mengelak setiap tertangkap basah olehku saat diam-diam memandangi
Diandra, tetapi aku tahu pasti tentang perasaannya itu. Bahkan, tanpa Abi harus
mengatakannya. Karena, aku tidak sanggup mendengarkannya.
Ya,
aku menyukai Abi. Sejak di masa SMA hingga sekarang. Sama seperti perasaan Abi
kepada Diandra, perasaanku ke Abi juga mencintai dalam diam. Aku hanya bisa
mencintai dalam diam, tidak mampu berkata. Karena aku tidak mau membuat Abi
harus memilih. Tetapi, Abi berhak tahu. Ada seseorang yang diam-diam menyukai,
menyayangi dan mencintainya. Jika hari esok tidak datang lagi, apa bisa aku
tetap diam? Tentu tidak. Aku akan menyesal. Merana. Sedih dan sakit.
Suatu
hari, aku mengatakannya pada Abi. Ya kuungkapkan semua perasaanku padanya. “Aku
mencintaimu. Aku berlindung di balik kata sahabat akan perasaan ini, Bi,”
ucapku. Abi berdiri memandangiku dengan ekspresi kaget. Matanya terbelalak,
mulutnya tertutup rapat seakan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Abi berdiri
dalam diam, sambil membelai lembut rambutku.
Lalu
sekarang, aku harus menangis. Bukan karena cintaku yang tidak bertemu di ujung
jalan, melainkan karena Abi yang sedang terbaring lemah tak berdaya di rumah
sakit. Abi sahabatku, pria yang kucintai, kini sedang tidur pulas dengan sakit
yang dideritanya. Aku tidak lagi bisa melihat dirinya yang begitu menyenangkan
yang selalu menghiasi hari-hariku, walau sebagai sahabat karibku.
***
Matahari
pagi kurasa sudah menyentuh kulitku, tapi aku merasa kepalaku sangat berat, aku
mencoba berdiri dan terjatuh, kudengar jeritan Diandra membangunkan Emma, dan
kudengar Emma pun menangis. Entah selang beberapa jam atau malah hari, aku
merasakan tubuhku dipenuhi alat-alat kedokteran dan aku tetap tidak sanggup
membuka mata. Kudengar suara Emma, menangis di sampingku seorang diri, lamat-lamat
kudengar dia menyesal telah menaruh hati padaku, kudengar dia memaki-maki
dirinya selalu cemburu ketika melihat aku lebih perhatian kepada Diandra tanpa
kadang tidak memperdulikannya, dan kudengar dia mengutuk-ngutuk dirinya yang
tidak pernah berani mengutarakan ini semua kepadaku dan malah dengan
pengecutnya membongkar perasaannya ketika aku malah tidak bisa mendengarnya.
Sebisa
mungkin kugerakkan tanganku, aku merasakan bisa menggenggam tangannya. Dalam
hati aku mengutuk diriku seperti Emma mengutuk dirinya, Diandra bahkan tidak
ada di sini, tidak akan pernah dia tahu bagaimana perasaanku terhadapnya
seperti aku yang sudah tahu perasaan Emma, dia tidak akan tahu, dan aku sudah
tidak punya waktu lagi. Tidak akan ada lagi hari esok untukku.Cerpen ini hasil dari duet bersama Dania Sunshine
No comments:
Post a Comment