Aku duduk dibelakang jendela kamarku yang langsung menghadap
ke taman depan rumah. Menatap bulir-bulir air yang menampar kaca jendela.
Suasana kamar kubiarkan gelap walau tidak gulita. Diluar, senja menghadiahkan
jingganya samar-samar. Sudah tiga hari awan-awan menawan mentari, tak
memberikannya waktu untuk saling bertemu dengan bumi.
Apa yang kau pikirkan, semesta akan memberikannya padamu. Tapi, tidak secuilpun pikiranku mengarah kesana. Tapi alam
sengaja memberikannya padaku. Kesunyian, kedinginan, kehampaan.
Aku tetap menatap jendela, airnya sudah tidak sempat membentuk
bulir, seketika pecah mengalir. Seperti air mataku saat ini.
“Hujan saja bebas jatuh, bebas jatuh mencintai tanah,“
kataku dengan suara serak dan tanda tidak terima.
“Tapi ia punya waktunya sendiri untuk bisa jatuh,” balasmu
lirih.
Hanya itu yang selalu terngiang dikepalaku, kata-katamu,
yang meski lirih tapi menyakiti. Penolakan.
Lima tahun lamanya kita bersama, tak ada seorang wanita yang
berada ditengah kita, pun lelaki. Aku pikir, kedewasaan yang membuatmu tidak
pernah menyatakan cinta, dan aku terus berharap. Ketika usia mendesak kita
menuju hal yang apapun itu mengarah kekeseriusan, termasuk hubungan, aku menuntut dan kau merenggut. Tidak setuju. Pada
akhirnya aku mengetahui alasannya, dikarenakan kau telah memilih wanita lain.
Kau hujan, yang akhirnya jatuh di musimmu. Dan aku yang
tetap menjadi kemarau, yang tak mampu beriringan denganmu.
Tulisan ini dikutsertakan di Giveaway Tantangan Menulis Flashfiction
Not bad :)
ReplyDeleteKalau begitu main hujan aja yuk ^^ *salah fokus* hahahaha
ReplyDeleteTunggu saya beli jas hujan dulu. *laaah? haha
DeleteKak dhan keren deh :D
ReplyDeletehihihi,, makasih lia :*
Deletebagus... jempol besar deeh
Deletemakasih yah evi :)
Deleteiyaaa
Delete