![]() | ||
BADUT (gambar diambil dari blog |
“Kenapa
kamu mau kerja jadi badut sih?”
“Karena
aku ingin menyembunyikan luka.”
Setelah
menjawab dengan tegas pertanyaan dari Dewi sahabatku, aku menunduk sambil
menunggu ocehan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya. Selama beberapa detik
aku menunggu, ternyata tidak ada reaksi darinya, maka akupun mengangkat wajahku
dengan perasaan was-was. Aku melihatnya menatapku dengan heran.
“Menurut
aku, cara paling baik menyembunyikan luka adalah menjadi badut. Aku bisa tetap
terlihat dan bertingkah laku selayaknya orang bahagia meski dibalik kostum saya
sedang bersedih,” lanjutku sambil menatap wajahnya dan membiarkannya lebih lama
lagi untuk heran.
Aku
menerima kostum badut yang berhasil dipinjamkannya entah dari siapa tanpa
ekspresi apapun, “Terima kasih, Dew.”
****
Hujan
turun terus menerus, aku menatap lurus ke arah jalan di depan rumah. Kostum
badut yang baru saja kudapat pagi tadi masih bertengger lucu dipagkuanku, tapi
aku malah tidak berselera untuk melihatnya. Hujan yang deras membuat kaca-kaca
jendelaku berembun, seketika pandanganku kabur. Aku melihat seorang badut
tengah melucu dan menari-menari di depan rumahku sambil menenteng sebuah kado
yang berukuran raksasa. Seketika air mataku berjatuhan, bahkan sebelum aku
sempat berkedip. Aku beranjak untuk membuka jendela, tapi badut itu sudah tidak
ada.
Aku
tahu, itu hanya halusinasiku saja. Badut itu memang pernah ada, tapi sekarang
sudah tidak. Badut yang merupakan jelmaan dari seorang pria yang tidak pandai
melucu tapi selalu ingin membuatku tertawa, dia bahkan melakukan itu
disaat-saat terakhir dia pergi untuk tidak kembali lagi. Tawa yang akhirnya
kukenang dengan sesuatu yang kusebut kesedihan, bukan kebahagiaan.
****
“Raina,
Raina,” teriak seseorang yang suaranya begitu kuhafal, bahkan ketika dia sedang
pilek. Pagi-pagi buta, Rangga datang dengan kostum badut yang sangat lucu.
Menari-nari dengan kocaknya sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Daerah
kompleks rumah selalu sepi sepagi ini, itulah yang Rangga ketahui, maka dari
itu dengan bebasnya dia menari-nari tanpa mempehatikan sekitarnya. Dari arah
belokan, truk melintas dengan kecepatan tinggi dan oleng menabrak Rangga dengn
kostum badutnya. Dia pergi dengan tetap tersenyum walau itu hanya ungkapan dari
topeng badut yang digunakannya. Dia baru saja menyuguhkanku pertunjukan yang
sangat hebat sepanjang sejarah hidupku yang akan selalu kukenang dengan lelucon
yang paling menyengkan, karena mengingatnya aku akan terus tertawa sampai
mengeluarkan air mata.
****
Aku
melangkah gontai menuju halaman belakang rumah salah seorang keluarga yang
anaknya tengah berulang tahun, dan ini adalah pekerjaan pertamaku. Sungguh
tidaklah mudah untuk melakukan pekerjaan yang sama sekali tidak kau sukai.
Entah kegilaan apa yang aku kerjakan saat ini, menuruti ego untuk memuaskan
diri sendiri, mencari pemuasan batin walau menyakiti perasaan sendiri. Manusia
memang terkadan senang melakukan hal tersebut.
Saat
pesta berlangsung, aku hanya diam melongo. Sesekali bejalan-jalan sambil
memegang puluhan balon. Tentu aku tidak tahu harus berbuat apa, aku bukan orang
yang humoris. Sekali lagi, aku hanya melampiaskan keegoisanku, aku melampiaskan
kemarahanku kepada yang orang-orang sebut sebagai badut, si pembawa tawa. Walau
aku tahu aku tengah membodohi diriku sendiri.
Anak-anak
mulai rusuh, meminta-minta balon dari tanganku, tapi aku tak menggubrisnya.
Sebagian anak-anak lagi minta diberikan lelucon-lelucon tapi aku terus saja
berjalan, tanpa memperdulikannya. Suasana pesta semakin meriah, penuh tangisan
anak-anak kecil. Aku berjalan santai keluar rumah dengan senyum kecil
dibibirku. Senyum yang terbentuk karena mendengar begitu banyak tangisan.
****
“Raina,
kamu kenapa jadi bertingkah seperti orang tidak punya akal sih? Kemarin, teman
tanteku yang mengadakan pesta marah-marah karena kamu telah mengacaukan pesta
anaknya,” semprot Dewi.
“Aku
bukan badut lucu Dewi, aku badut pembawa luka,” kataku tanpa ekspresi sambil
menyodorkannya minuman kaleng. Dia membiarkan tanganku terulur menggantung.
Alih-alih menerima apa yang kusodorkan dengan senang hati, dia malah menatapku
tajam.
“Mana
kostum badutnya, aku tidak mau kamu melakukan hal seperti kemarin lagi,”
katanya dingin.
“Pergi,
keluar dari kamarku!,” kataku dengan setengah membentak, tidak kalah dingin.
Dewi pergi meninggalkan rumahku dengan air mata yang sudah berada diujung
kelopaknya.
Aku menghempaskan tubuh di kasurku.
Degup jantungku berdetak dengan cepat, nafasku terengah-engah memburu detak
jantungku. Aku mengingat bagaimana tadi aku membentak Dewi. Aku tertawa.
Tertawa getir. Terus tertawa sampai air mataku berjatuhan. Aku tahu apa yang
kulakukan ini adalah salah, membiarkan orang membenciku, menjahuiku. Tapi,
seperti inilah yang saat ini aku inginkan.
****
Cuaca
taman sore ini sangat mendukung untuk berjalan-jalan. Aku yang memakain kostum
sebesar dan setebal ini tidak akan terlalu kepanasan. Aku terus berjalan
mengelilingi taman. Dari balik kostum aku melihat, setiap orang-orang yang
berpapasan denganku pasti akan tersenyum dan melambaikan tangan, tapi aku tetap
berjalan lurus tanpa melakukan apa-apa karena aku tahu, badut ini secara
otomatis akan membalas senyum mereka. Sungguh menjadi badut adalah
sehebat-hebatnya penyembunyi luka.
Aku
mendengar seorang ibu memanggilku untuk menghibur anaknya yang sedari tadi
merengek minta dicarikan badut, tapi lagi-lagi tanpa penuh perasaan aku
melenggak pergi. Tanpa menoleh aku sudah membayangkan betapa jeleknya wajah ibu
itu yang berteriak sambil memakiku, mengatakan aku badut jelek tak berperasaan
sambil terus berusaha membujuk anaknya untuk berhenti menangis. Orang-orang
yang berada disekitar menatapku dengan perasaan ikut jengkel, sambil mencemooh.
Bercerita dengan sesame penghuni taman sambil menunjuk-nunjukku dengan muka
tidak sedap. Lagi-lagi aku tersenyum sinis dari balik topeng yang menyengir
dengan lebar.
Setelah merasa cukup lelah mengitari
taman, aku memilih untuk beristirahat dibangku taman, masih dalam keadaan
lengkap dengan kostum badutku. Aku hanya duduk termenung sampai seorang cowok
yang duduk disampingku menegurku. Ku bahkan tidak tahu didetik keberapa dia ada
disini, disampingku.
“Badut
kok muram?”
Aku
menolehkan kepalaku agak susah, aku tahu topeng badut ini masih setia dengan cengiran
konyol khasnya, maka aku membalasnya, “Masa nyengir begini kamu bilang muram?”
Aku
melihatnya agak terkejut, mungkin dia tidak mengira bahwa yang berada dibalik
kostum badut ini adalah seorang perempuan. Tapi ternyata dia pandai mengontrol
diri, dia kembali tersenyum.
“Topeng,
itu tidak mampu menutupi keseluruhan. Dia tidak mampu menutup hingga
kedalam-dalamnya, terkhusus perasaan. Jangan kamu mengira, kamu mampu
menyembunyikan luka dengan topeng. Walau kau memakai topeng yang wajahnya
seceria apapun, tapi hatimu dalam keadaan tidak, kau akan tetap terlihat tidak
ceria. Kalau kau ingin menyembunyikan luka, sembunyikanlah dengan bijak. Simpan
rapat-rapat ditempat yang kau sendiri tak mungkin lagi menemukannya, bukan
dengan menebar kesedihan ke orang lain. Semakin kau mengumbarnya, kau bukannya
merasa puas melainkan semakin terluka.”
Laki-laki itu terus mengoceh tanpa
sesekalipun menoleh kearahku. Aku tahu topeng ini masih setia dengan
cengirannya, sementara dibaliknya aku mulai mengeluarkan air mata. Akupun mulai
berpikir, memang benar menjadi badut adalah sebaik-baiknya menutupi luka, tapi
alangkah baiknya lagi jika aku menggunakannya untuk menghibur orang lain, dan
membiarkan lukaku sembuh dengan tawa, bukannya menyiraminya terus dengan air
mata agar tetap basah dan tumbuh berkembang.
“Aku
sendiri, aku ulang tahun hari ini dan tidak ada satupun orang-orang yang
mengingatnya,” kata laki-laki itu sambil menghadap kearahku kemudian beranjak.
Aku
kemudian berdiri dan merogoh kantung dan mengeluarkan bunga mawar plastik yang
selalu kubawa namun tidak pernah kukeluarkan. Aku berseru memangilnya dan
memberikannya bunga tersebut.
“Selamat
ulang tahun.”
Aku
melihatnya tersenyum manis, akupun tersenyum tulus dibalik topeng dan
sepersekian kecil lukaku mengering.
Tulisan ini diikutsertakan pada PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1
No comments:
Post a Comment