Friday, 25 October 2013

Badut Pembawa Luka


BADUT (gambar diambil dari blog
)
 


“Kenapa kamu mau kerja jadi badut sih?”
“Karena aku ingin menyembunyikan luka.”

Setelah menjawab dengan tegas pertanyaan dari Dewi sahabatku, aku menunduk sambil menunggu ocehan apa lagi yang akan keluar dari mulutnya. Selama beberapa detik aku menunggu, ternyata tidak ada reaksi darinya, maka akupun mengangkat wajahku dengan perasaan was-was. Aku melihatnya menatapku dengan heran.

“Menurut aku, cara paling baik menyembunyikan luka adalah menjadi badut. Aku bisa tetap terlihat dan bertingkah laku selayaknya orang bahagia meski dibalik kostum saya sedang bersedih,” lanjutku sambil menatap wajahnya dan membiarkannya lebih lama lagi untuk heran.
Aku menerima kostum badut yang berhasil dipinjamkannya entah dari siapa tanpa ekspresi apapun, “Terima kasih, Dew.”

****
Hujan turun terus menerus, aku menatap lurus ke arah jalan di depan rumah. Kostum badut yang baru saja kudapat pagi tadi masih bertengger lucu dipagkuanku, tapi aku malah tidak berselera untuk melihatnya. Hujan yang deras membuat kaca-kaca jendelaku berembun, seketika pandanganku kabur. Aku melihat seorang badut tengah melucu dan menari-menari di depan rumahku sambil menenteng sebuah kado yang berukuran raksasa. Seketika air mataku berjatuhan, bahkan sebelum aku sempat berkedip. Aku beranjak untuk membuka jendela, tapi badut itu sudah tidak ada.
Aku tahu, itu hanya halusinasiku saja. Badut itu memang pernah ada, tapi sekarang sudah tidak. Badut yang merupakan jelmaan dari seorang pria yang tidak pandai melucu tapi selalu ingin membuatku tertawa, dia bahkan melakukan itu disaat-saat terakhir dia pergi untuk tidak kembali lagi. Tawa yang akhirnya kukenang dengan sesuatu yang kusebut kesedihan, bukan kebahagiaan.

****
“Raina, Raina,” teriak seseorang yang suaranya begitu kuhafal, bahkan ketika dia sedang pilek. Pagi-pagi buta, Rangga datang dengan kostum badut yang sangat lucu. Menari-nari dengan kocaknya sambil menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Daerah kompleks rumah selalu sepi sepagi ini, itulah yang Rangga ketahui, maka dari itu dengan bebasnya dia menari-nari tanpa mempehatikan sekitarnya. Dari arah belokan, truk melintas dengan kecepatan tinggi dan oleng menabrak Rangga dengn kostum badutnya. Dia pergi dengan tetap tersenyum walau itu hanya ungkapan dari topeng badut yang digunakannya. Dia baru saja menyuguhkanku pertunjukan yang sangat hebat sepanjang sejarah hidupku yang akan selalu kukenang dengan lelucon yang paling menyengkan, karena mengingatnya aku akan terus tertawa sampai mengeluarkan air mata.

****
Aku melangkah gontai menuju halaman belakang rumah salah seorang keluarga yang anaknya tengah berulang tahun, dan ini adalah pekerjaan pertamaku. Sungguh tidaklah mudah untuk melakukan pekerjaan yang sama sekali tidak kau sukai. Entah kegilaan apa yang aku kerjakan saat ini, menuruti ego untuk memuaskan diri sendiri, mencari pemuasan batin walau menyakiti perasaan sendiri. Manusia memang terkadan senang melakukan hal tersebut.
Saat pesta berlangsung, aku hanya diam melongo. Sesekali bejalan-jalan sambil memegang puluhan balon. Tentu aku tidak tahu harus berbuat apa, aku bukan orang yang humoris. Sekali lagi, aku hanya melampiaskan keegoisanku, aku melampiaskan kemarahanku kepada yang orang-orang sebut sebagai badut, si pembawa tawa. Walau aku tahu aku tengah membodohi diriku sendiri.
Anak-anak mulai rusuh, meminta-minta balon dari tanganku, tapi aku tak menggubrisnya. Sebagian anak-anak lagi minta diberikan lelucon-lelucon tapi aku terus saja berjalan, tanpa memperdulikannya. Suasana pesta semakin meriah, penuh tangisan anak-anak kecil. Aku berjalan santai keluar rumah dengan senyum kecil dibibirku. Senyum yang terbentuk karena mendengar begitu banyak tangisan.

****
“Raina, kamu kenapa jadi bertingkah seperti orang tidak punya akal sih? Kemarin, teman tanteku yang mengadakan pesta marah-marah karena kamu telah mengacaukan pesta anaknya,” semprot Dewi.

“Aku bukan badut lucu Dewi, aku badut pembawa luka,” kataku tanpa ekspresi sambil menyodorkannya minuman kaleng. Dia membiarkan tanganku terulur menggantung. Alih-alih menerima apa yang kusodorkan dengan senang hati, dia malah menatapku tajam.
“Mana kostum badutnya, aku tidak mau kamu melakukan hal seperti kemarin lagi,” katanya dingin.
“Pergi, keluar dari kamarku!,” kataku dengan setengah membentak, tidak kalah dingin. Dewi pergi meninggalkan rumahku dengan air mata yang sudah berada diujung kelopaknya.
            Aku menghempaskan tubuh di kasurku. Degup jantungku berdetak dengan cepat, nafasku terengah-engah memburu detak jantungku. Aku mengingat bagaimana tadi aku membentak Dewi. Aku tertawa. Tertawa getir. Terus tertawa sampai air mataku berjatuhan. Aku tahu apa yang kulakukan ini adalah salah, membiarkan orang membenciku, menjahuiku. Tapi, seperti inilah yang saat ini aku inginkan.

****
Cuaca taman sore ini sangat mendukung untuk berjalan-jalan. Aku yang memakain kostum sebesar dan setebal ini tidak akan terlalu kepanasan. Aku terus berjalan mengelilingi taman. Dari balik kostum aku melihat, setiap orang-orang yang berpapasan denganku pasti akan tersenyum dan melambaikan tangan, tapi aku tetap berjalan lurus tanpa melakukan apa-apa karena aku tahu, badut ini secara otomatis akan membalas senyum mereka. Sungguh menjadi badut adalah sehebat-hebatnya penyembunyi luka.
Aku mendengar seorang ibu memanggilku untuk menghibur anaknya yang sedari tadi merengek minta dicarikan badut, tapi lagi-lagi tanpa penuh perasaan aku melenggak pergi. Tanpa menoleh aku sudah membayangkan betapa jeleknya wajah ibu itu yang berteriak sambil memakiku, mengatakan aku badut jelek tak berperasaan sambil terus berusaha membujuk anaknya untuk berhenti menangis. Orang-orang yang berada disekitar menatapku dengan perasaan ikut jengkel, sambil mencemooh. Bercerita dengan sesame penghuni taman sambil menunjuk-nunjukku dengan muka tidak sedap. Lagi-lagi aku tersenyum sinis dari balik topeng yang menyengir dengan lebar.
            Setelah merasa cukup lelah mengitari taman, aku memilih untuk beristirahat dibangku taman, masih dalam keadaan lengkap dengan kostum badutku. Aku hanya duduk termenung sampai seorang cowok yang duduk disampingku menegurku. Ku bahkan tidak tahu didetik keberapa dia ada disini, disampingku.
“Badut kok muram?”
Aku menolehkan kepalaku agak susah, aku tahu topeng badut ini masih setia dengan cengiran konyol khasnya, maka aku membalasnya, “Masa nyengir begini kamu bilang muram?”
Aku melihatnya agak terkejut, mungkin dia tidak mengira bahwa yang berada dibalik kostum badut ini adalah seorang perempuan. Tapi ternyata dia pandai mengontrol diri, dia kembali tersenyum.
“Topeng, itu tidak mampu menutupi keseluruhan. Dia tidak mampu menutup hingga kedalam-dalamnya, terkhusus perasaan. Jangan kamu mengira, kamu mampu menyembunyikan luka dengan topeng. Walau kau memakai topeng yang wajahnya seceria apapun, tapi hatimu dalam keadaan tidak, kau akan tetap terlihat tidak ceria. Kalau kau ingin menyembunyikan luka, sembunyikanlah dengan bijak. Simpan rapat-rapat ditempat yang kau sendiri tak mungkin lagi menemukannya, bukan dengan menebar kesedihan ke orang lain. Semakin kau mengumbarnya, kau bukannya merasa puas melainkan semakin terluka.”
            Laki-laki itu terus mengoceh tanpa sesekalipun menoleh kearahku. Aku tahu topeng ini masih setia dengan cengirannya, sementara dibaliknya aku mulai mengeluarkan air mata. Akupun mulai berpikir, memang benar menjadi badut adalah sebaik-baiknya menutupi luka, tapi alangkah baiknya lagi jika aku menggunakannya untuk menghibur orang lain, dan membiarkan lukaku sembuh dengan tawa, bukannya menyiraminya terus dengan air mata agar tetap basah dan tumbuh berkembang.
“Aku sendiri, aku ulang tahun hari ini dan tidak ada satupun orang-orang yang mengingatnya,” kata laki-laki itu sambil menghadap kearahku kemudian beranjak.
Aku kemudian berdiri dan merogoh kantung dan mengeluarkan bunga mawar plastik yang selalu kubawa namun tidak pernah kukeluarkan. Aku berseru memangilnya dan memberikannya bunga tersebut.
“Selamat ulang tahun.”

Aku melihatnya tersenyum manis, akupun tersenyum tulus dibalik topeng dan sepersekian kecil lukaku mengering.

Tulisan  ini diikutsertakan pada PESTA NULIS: ULANG TAHUN KAMAR FIKSI MEL ke 1

No comments:

Post a Comment