Wednesday 22 July 2015

Pulang ke Rumah; Tempat Kebahagian yang Tak Pernah Habis

Gambar diambil dari Pinterest.com



“Kita pulangnya naik motor saja,” kata bapak tiba-tiba ketika menonton tayangan arus mudik disalah satu stasiun televisi.

Sepertinya bapak agak ragu bakal tidak mendapat angkutan umum atau tidak ingin berdesak-desakan di atas mobil seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya para supir memanfaatkan momen lebaran untuk menaikkan penumpang ke kendaraan mereka melebihi kapasitas mobil ditambah penambahan biaya.

“Yakin?” tanyaku sangsi, “itu bisa menempuh waktu tujuh sampai delapan jam,” lanjutku.

“Hitung-hitung kita mengukur apa dengan berjalannya waktu, kita ini semakin renta atau tegar.” Bapak menambah volume suara televisi sambil tersenyum jahil ke arahku.

Aku tiba-tiba mulai membayangkan panasnya matahari selama perjalanan dan pantat yang akan sakit. Tapi benar kata bapak, ini salah satu cara menguji kekuatan kami. Dulu sewaktu aku kecil, kami juga pernah mudik dengan cara seperti ini. Aku yang kecil saja sanggup, kenapa yang sudah besar seperti ini malah menyerah?

Tapi seperti itulah jiwa anak kecil, mereka melakukan sesuatu tanpa sibuk memikirkan macam-macam, asal dia merasa senang. Kita yang dewasa, belum apa-apa, pikirannya sudah macam-macam, seperti  memikirkan betapa panas matahari bisa merusak kulit, gagallah perawatan anak gadis.

Ini baru rencana mudik, pulang ke kampung halaman. Sebelum sebenar-benarnya pulang, rencana ini malah membuat saya pulang, pulang dalam artian mengingat dan kembali ke masa-masa kecil saya. Pulang ternyata juga bisa membuat kamu akhirnya bisa merindukan hal-hal yang dulu pernah kamu lakukan.

Dan, akhirnya aku pun setuju dengan usul bapak untuk mudik dengan mengandarai motor bersama.

***

Sambil memijit-mijit lehernya dan terseyum sumringa bapak berkata, “Wah ternyata bapak benar-benar sudah renta. Ini belum setengah perjalanan, badan sakit semua.”

Aku yang tetap memakai masker dan kaca mata tidak melepaskannya barang sedetik menjawab, “Badan renta, tapi jiwa muda sekali. Aku sampai tegang dibonceng, udah kayak anak ABG menyelip-nyelip kendaraan lain.”

“Biar cepet sampai, biar kulit anak bapak tidak gosong,” katanya sambil meperlihatkan wajah usilnya lagi, lalu melanjutkan, “biar cepat ketemu ibumu.”

“Huh, poin terakhir lebih unggul deh sepertinya,” godaku sambil memijit-mijit lutut yang nyeri.

“Karena yang pertama itu memang indah, tapi yang terakhirlah yang lebih baik, indah, segala-galanya.”

Dan kami tertawa, lelah hilang perlahan.

Aku dan bapak memang tinggal di kota yang berbeda dengan ibu dan adikku. Aturan pemerintah baru membuat bapak pindah ke kota lain. Ibu baru saja mengunjungi kami dan pulang lagi mengurus adikku yang masih bersekolah. Sebab itulah kami pulang kampung. Jadi istilahnya kami ini merantau. Saya selalu membaca kata-kata, merantaulah agar kamu tahu siapa yang kamu rindukan. Yah, seperti aku dan bapak, kami benar-benar tahu siapa yang kami rindukan, maka kami pulang.
Aku mau menambahkan, merantaulah agar kamu tahu juga siapa yang merindukan kamu. Ibu sudah beberapa kali menelepon, menanyakan sudah sampai di mana, menyuruh bapak untuk tetap hati-hati. Yah, kami pun tahu bahwa ada yang benar-benar merindukan kami, maka kami pulang.

Rindu, bukankah obatnya hanyalah temu?

***

Bau masakan ibu menyambut kedatangan kami. Dari luar, asap-asap dari tungku sudah terlihat. Dua hari menjelang lebaran membuat aktivitas di dapur sangat sibuk. Suara khas ibu yang terdengar dari dapur tiba-tiba melenyapkan rasa capai berjam-jam duduk di atas motor, ditambah adik-adik yang mulai berdatangan dan saling berebut ingin bercerita. Aku sering bertanya-tanya, rindu itu apa, kini aku tahu rindu itu yah, suara ibu, suara adik-adik, bau masakan ibu, suasana rumah, bahkan seprai yang kamu gunakan sebelum di kamar tidurmu sebelum kamu merantau. Itu semua disingkat menjadi sebuah kata yaitu rindu. Rindu, semua hal yang ingin kamu rasakan kembali. Sesuatu yang baru kamu rasakan ketika kamu pergi, dan pulang adalah salah satu cara untuk merasakannya kembali.

Aku tertegun sebentar, rumah memang adalah tempat di mana kamu mendapatkan segala kebahagiaan tanpa takut merasa habis. Aku mengatakan seperti ini karena beberapa waktu lalu aku sempat pulang dan hanya sebentar, sesampai di perantauan dan tinggal sendiri aku tidak bisa membendung rasa rindu dan mulai menagis. Ah, betapa amunisi pertemuan yang kubawa pulang cepat sekali habis, rindu begitu rakus menggerogotinya, atau hanya aku yang begitu cengeng? Dan sekarang, aku disni lagi dan tertawa-tawa. Walau kebahagiaan itu tidak perlu dicari tapi diciptakan, aku bisa mengatakan betapa mudahnya menemukan kebahagiaan di rumah tanpa perlu kau cari, kebahagiaan itu akan tercipta dengan sendirinya.

***

“Bu, si Riri ke mana sih?” tanyaku setelah mencari adikku ke segala penjuru rumah.

“Biasalah adikmu itu, selalu jarang di rumah. Lebih suka berada di rumah temannya, paling nanti tengah malam baru pulang.”

Ibu menjawab sambil mengeluarkan serangan protesnya.

“Kamu makan saja duluan, keburu lapar kalau menunggu adikmu itu,” lanjutnya sambil membawa mangkuk berisi kari ayam dan sepiring ketupat yang sudah diiris kecil-kecil.

“Biar sajalah, bu. Nanti kalau dia sudah sekolah di luar kota dia bakal tahu yang namanya waktu untuk keluarga itu juga penting,” kataku sambil menyendok kari ayam ke piringku.

Dulu juga aku seperti itu. Lebih banyak menghabiskan waktu kumpul bersama teman-teman, jalan-jalan atau hanya sekadar bercerita tidak penting, mungkin karena kita pikir lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, bertemu dengan keluarga setiap hari. Tapi begiitu sekolah di luar kota, kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman dan kemudian merindukan sosok yang ada di rumah. Kita memang seringkali baru menyadari betapa pentingnya sesuatu jika sudah tidak ada di dekat kita. Sekarang, jika ada liburan seperti ini dan berada di kampung halaman, aku lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Kalaupun ada janjian dengan teman, yah seperlunya saja.

***

Liburan telah usai. Salah satu tujuan pulang untuk mengobati rasa rindu telah terbayarkan. Kini aku juga akan pulang, pulang kali ini untuk meraih masa depan. Berat rasanya meninggalkan rumah di kampung tetapi rumah yang lain ikut menunggu. Bukankah sudah kubilang, pulang ke rumah adalah cara untuk mendapatkan kebahagiaan tanpa takut kehabisan? Salah satu cara untuk terus merasa bahagia juga adalah menciptakan bahagia itu sendiri. Nah, cobalah untuk menciptakan tempat dimana pun sebagai rumahmu, dan kamu tidak akan pernah merasa ragu untuk pulang dan tetap berbahagia.

“Hati-hati di jalan, jangan lupa menelepon kalau sudah sampai,” pesan ibu sambil menciumku.



No comments:

Post a Comment