Gambar diambil dari Pinterest.com |
“Kita pulangnya naik motor saja,”
kata bapak tiba-tiba ketika menonton tayangan arus mudik disalah satu stasiun
televisi.
Sepertinya bapak agak ragu bakal
tidak mendapat angkutan umum atau tidak ingin berdesak-desakan di atas mobil
seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya para supir memanfaatkan momen lebaran
untuk menaikkan penumpang ke kendaraan mereka melebihi kapasitas mobil ditambah
penambahan biaya.
“Yakin?” tanyaku sangsi, “itu
bisa menempuh waktu tujuh sampai delapan jam,” lanjutku.
“Hitung-hitung kita mengukur apa
dengan berjalannya waktu, kita ini semakin renta atau tegar.” Bapak menambah
volume suara televisi sambil tersenyum jahil ke arahku.
Aku tiba-tiba mulai membayangkan
panasnya matahari selama perjalanan dan pantat yang akan sakit. Tapi benar kata
bapak, ini salah satu cara menguji kekuatan kami. Dulu sewaktu aku kecil, kami
juga pernah mudik dengan cara seperti ini. Aku yang kecil saja sanggup, kenapa
yang sudah besar seperti ini malah menyerah?
Tapi seperti itulah jiwa anak
kecil, mereka melakukan sesuatu tanpa sibuk memikirkan macam-macam, asal dia
merasa senang. Kita yang dewasa, belum apa-apa, pikirannya sudah macam-macam,
seperti memikirkan betapa panas matahari
bisa merusak kulit, gagallah perawatan anak gadis.
Ini baru rencana mudik, pulang ke
kampung halaman. Sebelum sebenar-benarnya pulang, rencana ini malah membuat
saya pulang, pulang dalam artian mengingat dan kembali ke masa-masa kecil saya.
Pulang ternyata juga bisa membuat kamu akhirnya bisa merindukan hal-hal yang
dulu pernah kamu lakukan.
Dan, akhirnya aku pun setuju
dengan usul bapak untuk mudik dengan mengandarai motor bersama.
***
Sambil memijit-mijit lehernya dan
terseyum sumringa bapak berkata, “Wah ternyata bapak benar-benar sudah renta.
Ini belum setengah perjalanan, badan sakit semua.”
Aku yang tetap memakai masker dan
kaca mata tidak melepaskannya barang sedetik menjawab, “Badan renta, tapi jiwa
muda sekali. Aku sampai tegang dibonceng, udah kayak anak ABG menyelip-nyelip
kendaraan lain.”
“Biar cepet sampai, biar kulit
anak bapak tidak gosong,” katanya sambil meperlihatkan wajah usilnya lagi, lalu
melanjutkan, “biar cepat ketemu ibumu.”
“Huh, poin terakhir lebih unggul
deh sepertinya,” godaku sambil memijit-mijit lutut yang nyeri.
“Karena yang pertama itu memang
indah, tapi yang terakhirlah yang lebih baik, indah, segala-galanya.”
Dan kami tertawa, lelah hilang
perlahan.
Aku dan bapak memang tinggal di
kota yang berbeda dengan ibu dan adikku. Aturan pemerintah baru membuat bapak
pindah ke kota lain. Ibu baru saja mengunjungi kami dan pulang lagi mengurus
adikku yang masih bersekolah. Sebab itulah kami pulang kampung. Jadi istilahnya
kami ini merantau. Saya selalu membaca kata-kata, merantaulah agar kamu tahu
siapa yang kamu rindukan. Yah, seperti aku dan bapak, kami benar-benar tahu
siapa yang kami rindukan, maka kami pulang.
Aku mau menambahkan, merantaulah
agar kamu tahu juga siapa yang merindukan kamu. Ibu sudah beberapa kali menelepon,
menanyakan sudah sampai di mana, menyuruh bapak untuk tetap hati-hati. Yah,
kami pun tahu bahwa ada yang benar-benar merindukan kami, maka kami pulang.
Rindu, bukankah obatnya hanyalah
temu?
***
Bau masakan ibu menyambut
kedatangan kami. Dari luar, asap-asap dari tungku sudah terlihat. Dua hari
menjelang lebaran membuat aktivitas di dapur sangat sibuk. Suara khas ibu yang
terdengar dari dapur tiba-tiba melenyapkan rasa capai berjam-jam duduk di atas
motor, ditambah adik-adik yang mulai berdatangan dan saling berebut ingin
bercerita. Aku sering bertanya-tanya, rindu itu apa, kini aku tahu rindu itu
yah, suara ibu, suara adik-adik, bau masakan ibu, suasana rumah, bahkan seprai
yang kamu gunakan sebelum di kamar tidurmu sebelum kamu merantau. Itu semua
disingkat menjadi sebuah kata yaitu rindu. Rindu, semua hal yang ingin kamu
rasakan kembali. Sesuatu yang baru kamu rasakan ketika kamu pergi, dan pulang
adalah salah satu cara untuk merasakannya kembali.
Aku tertegun sebentar, rumah memang adalah
tempat di mana kamu mendapatkan segala kebahagiaan tanpa takut merasa habis.
Aku mengatakan seperti ini karena beberapa waktu lalu aku sempat pulang dan
hanya sebentar, sesampai di perantauan dan tinggal sendiri aku tidak bisa
membendung rasa rindu dan mulai menagis. Ah, betapa amunisi pertemuan yang
kubawa pulang cepat sekali habis, rindu begitu rakus menggerogotinya, atau
hanya aku yang begitu cengeng? Dan sekarang, aku disni lagi dan tertawa-tawa.
Walau kebahagiaan itu tidak perlu dicari tapi diciptakan, aku bisa mengatakan
betapa mudahnya menemukan kebahagiaan di rumah tanpa perlu kau cari, kebahagiaan
itu akan tercipta dengan sendirinya.
***
“Bu, si Riri ke mana sih?”
tanyaku setelah mencari adikku ke segala penjuru rumah.
“Biasalah adikmu itu, selalu
jarang di rumah. Lebih suka berada di rumah temannya, paling nanti tengah malam
baru pulang.”
Ibu menjawab sambil mengeluarkan
serangan protesnya.
“Kamu makan saja duluan, keburu
lapar kalau menunggu adikmu itu,” lanjutnya sambil membawa mangkuk berisi kari
ayam dan sepiring ketupat yang sudah diiris kecil-kecil.
“Biar sajalah, bu. Nanti kalau
dia sudah sekolah di luar kota dia bakal tahu yang namanya waktu untuk keluarga
itu juga penting,” kataku sambil menyendok kari ayam ke piringku.
Dulu juga aku seperti itu. Lebih
banyak menghabiskan waktu kumpul bersama teman-teman, jalan-jalan atau hanya
sekadar bercerita tidak penting, mungkin karena kita pikir lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah, bertemu dengan keluarga setiap hari. Tapi begiitu
sekolah di luar kota, kita lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman dan
kemudian merindukan sosok yang ada di rumah. Kita memang seringkali baru
menyadari betapa pentingnya sesuatu jika sudah tidak ada di dekat kita. Sekarang,
jika ada liburan seperti ini dan berada di kampung halaman, aku lebih banyak
menghabiskan waktu di rumah. Kalaupun ada janjian dengan teman, yah seperlunya
saja.
***
Liburan telah usai. Salah satu
tujuan pulang untuk mengobati rasa rindu telah terbayarkan. Kini aku juga akan
pulang, pulang kali ini untuk meraih masa depan. Berat rasanya meninggalkan
rumah di kampung tetapi rumah yang lain ikut menunggu. Bukankah sudah kubilang,
pulang ke rumah adalah cara untuk mendapatkan kebahagiaan tanpa takut
kehabisan? Salah satu cara untuk terus merasa bahagia juga adalah menciptakan
bahagia itu sendiri. Nah, cobalah untuk menciptakan tempat dimana pun sebagai
rumahmu, dan kamu tidak akan pernah merasa ragu untuk pulang dan tetap
berbahagia.
“Hati-hati di jalan, jangan lupa
menelepon kalau sudah sampai,” pesan ibu sambil menciumku.
No comments:
Post a Comment