Mungkin, entah beberapa tahun nanti, kopi bisa dijadikan
sebagai bahan perekam sejarah. Setidaknya untuk penggemar kopi, untuk diri saya
sendiri.
Di teras rumah, saat semua orang menyesap teh yang asapnya
masih mengepul, paman saya mengabsen keponakannya satu per satu dan berhenti
agak lama ketika nama saya diucapnya. Dari dalam saya dengar beliau berkata, “Dhani
mana?”
“Dia lagi bikin kopi, semoga saja persediaan es batu cukup
untuk mendinginkan kopinya,” jawab tante saya mewakili.
“Heran, tidak pagi, tidak sore dia selalu membuat kopi
dengan cangkirnya penuh es batu. Tidak kasihan dia sama hidung kecilnya yang
mudah sekali terkena flu,” lanjut tante saya.
Saya keluar sambil mengaduk kopi. Terdengar suara sendok,
bibir gelas dan es batu beradu. Dengan penuh khidmat saya menyeruput kopi saya.
Entah di mana saya pernah membaca, atau sekadar mendengar
katanya kopi panas itu seperti cinta. Kalau langsung diseruput bakal berbahaya,
bakal cepat habis, kalau dibiarkan nanti jadi dingin. Tapi itu tidak bakal
menjadi masalah buat saya, toh kopi saya dari awal mulanya dingin. Saya jadi
bisa menikmati cinta tanpa takut-takut. Hahaha.
“Pernah juga dia mencoba bersembunyi menyeduh kopi
andalannya itu, tengah malam pula,” sambung bapak saya.
“Dikiranya dia mampu menyembunyikan aroma kopi, dasar anak
bandel. Mungkin juga ini ulah ibunya, sewaktu mengandung dia, ibunya selalu
ngemil kopi” lanjutnya.
Ditengah-tengah malam, bukan untuk menghalau kelopak saya
untuk memejam, kelopak saya tidak pernah akur dengan kopi. Melainkan menemani
lembar-lembar buku yang sedang saya tamatkan. Malam sewaktu bapak saya menegur
itu saya jadi tertawa terbahak-bahak. Sepertinya saya harus memperbaharui
peribahasa lama. Benar, percuma membuat kopi sembunyi-sembunyi, toh kecium
juga.
Tulisan ini dibuat untuk mengikuti event cerita #dibaliksecangkirkopi
Dhani Ramadhani
https://www.facebook.com/danne.ramadhanie
https://twitter.com/DhaniRamadhani
https://twitter.com/DhaniRamadhani
wew...baru tau ada yg diam2 suka ngopi....ikut ah....
ReplyDelete