Tuesday 30 September 2014

Pada Gigi Kutemukan Jodohku



Gambar diambil di sini

“Nan, Nan, Nanda!”

Aku terhenyak dan menoleh kearah suara Rima, tampangnya sudah kusut.

“Kenapa melamun sih? Lihat tuh es batu di kopimu sudah mencair, nanti tidak manis lagi loh! Gimana mau dapat jodoh kalau kerjamu cuma melamun.”

“Semua kamu sangkut pautkan dengan jodoh,” balasku agak kesal sambil meneguk habis ice caramel latteku dan sukses membuat gigiku ngilu. Aku lalu mengelus-elus pipiku untuk meredahkannya. Entah itu ajaran dari mana tapi sukses.

“Nan, tau mitos-mitos tentang gigi gak?” pertanyaan Rima sukses membuat rasa ngilu di gigiku benar-benar hilang.
“Kamu kayak nenek-nenek ih, percayanya sama mitos-mitos. Gak tahu aku.”
“Kemarin gigi aku tanggal. Masa sudah tua begini baru tanggal?”
“Ya sudah, sembunyikan saja di bawah bantal. Siapa tahu peri gigi menggantinya dengan jodoh,” kataku asal.
“Benar juga.”

Aku menatap Rima dengan mata membelalak. Dan dia membalasnya dengan lidah terjulur sambil tertawa terbahak-bahak.

***

Aku duduk sendiri di sudut kafe sambil terus memutar sendok minumanku, membuat es batu yang terdapat di dalamnya beradu dengan pinggiran-pinggiran gelas. Aku tidak pernah merasa sekacau ini. Sebelum laki-laki yang diam-diam kuperhatikan itu benar-benar masuk ke dalam hidupku. Sudah tiga hari ini perutku hanya diisi kopi, terlihat jelas efeknya pada mataku yang sudah mirip pengantin bercelak tebal yang menangis karena ditinggal pergi calon mempelai prianya. Kacau bukan saja berarti kamu tengah gundah gulana atau bermuram durja, terlalu bahagia dan bersemangat tanpa bisa berkata-kata juga bisa membuat perasaan kacau. Aku sama sekali tidak bernafsu saat melihat makanan, perutku selalu terasa penuh. Diam-diam aku percaya isinya adalah jutaan kupu-kupu.

“Nanda!”

Rima datang dengan bermaksud mengagetkanku. Tapi aku hanya menoleh sekilas lalu kembali mengaduk-aduk kopiku.

“Lagi-lagi kamu melamun, nanti kesambet….”
“Jodoh?” belum lagi Rima menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya. Aku hapal sekali tabiat anak ini, dimana dan kapan pun itu, yang selalu dibahasnya adalah jodoh.

Dia menatapku lekat-lekat. Kepalanya pasti penuh tanda tanya.

“Bulan depan aku menikah.”

Rima yang tadinya cuma bisa melongo kini menyambar gelasku dan meneguknya hingga tandas.

“Nanda, selamat yah,” katanya sambil berdiri kemudian memelukku dari belakang, “aku aja yang pacaran tiga tahun lebih belum dilamar-lamar,” sambungnya sambil kembali ke tempat duduknya. Meskipun yang dikatakannya adalah hal yang sama sekali tidak disukainya dia tersenyum tulus.

“Ini semua gara-gara gigi.”
“Gigi?” Tanya Rima memperjelas.
“Dan juga mitos.”
“Mitos?”
“Kamu ini kenapa sih?” aku mulai sewot.

****

“Hahaha.”

“Hahaha.”

“Hahaha.”

Kami tertawa terbahak-bahak di depan minuman kami yang hampir habis. Aku menatap wajah lelaki yang ada di sampingku, lelaki yang bertahun-tahun aku perhatikan diam-diam dan tanpa pernah berhasil membuatnya dekat, sewaktu itu.

“Jadi, Arif, kamu cuma mengarang mitos tentang gigi itu ke Nanda?” Tanya Rima setelah tawanya reda.

Laki-laki yang bernama Arif, yang beberapa bulan sudah menjadi suamiku itu menatapku dengan senyum yang cuma bisa diartikan oleh aku sendiri. Dia memicingkan matanya. Mata yang katanya tidak pernah berhenti mengawasiku bertahun-tahun lamanya. Ternyata selama ini kami sama-sama bertahan. Bertahan dalam diam. Sama-sama mencinta, mencinta dalam diam.

Tiba-tiba kulihat Rima memegang pipinya dan sedikit meringis.

“Gigi-gigiku tiba-tiba sakit,” bisiknya kepadaku, “seperti ada sesuatu yang menariknya ke belakang,” lanjutnya tetap meringis sambil menutup mulutnya.

“Beberapa bulan yang lalu aku merasakan itu, dan itulah mitos yang dikatakan Arif, bahwa sebentar lagi jodohmu akan datang,” balasku membisikinya.

Rima mematung, aku tertawa.


No comments:

Post a Comment