Gambar diambil di sini |
“Nan, Nan, Nanda!”
Aku terhenyak dan menoleh kearah
suara Rima, tampangnya sudah kusut.
“Kenapa melamun sih? Lihat tuh es
batu di kopimu sudah mencair, nanti tidak manis lagi loh! Gimana mau dapat
jodoh kalau kerjamu cuma melamun.”
“Semua kamu sangkut pautkan
dengan jodoh,” balasku agak kesal sambil meneguk habis ice caramel latteku dan sukses membuat gigiku ngilu. Aku lalu
mengelus-elus pipiku untuk meredahkannya. Entah itu ajaran dari mana tapi
sukses.
“Nan, tau mitos-mitos tentang
gigi gak?” pertanyaan Rima sukses membuat rasa ngilu di gigiku benar-benar
hilang.
“Kamu kayak nenek-nenek ih,
percayanya sama mitos-mitos. Gak tahu aku.”
“Kemarin gigi aku tanggal. Masa
sudah tua begini baru tanggal?”
“Ya sudah, sembunyikan saja di
bawah bantal. Siapa tahu peri gigi menggantinya dengan jodoh,” kataku asal.
“Benar juga.”
Aku menatap Rima dengan mata
membelalak. Dan dia membalasnya dengan lidah terjulur sambil tertawa
terbahak-bahak.
***
Aku duduk sendiri di sudut kafe
sambil terus memutar sendok minumanku, membuat es batu yang terdapat di
dalamnya beradu dengan pinggiran-pinggiran gelas. Aku tidak pernah merasa sekacau
ini. Sebelum laki-laki yang diam-diam kuperhatikan itu benar-benar masuk ke
dalam hidupku. Sudah tiga hari ini perutku hanya diisi kopi, terlihat jelas
efeknya pada mataku yang sudah mirip pengantin bercelak tebal yang menangis
karena ditinggal pergi calon mempelai prianya. Kacau bukan saja berarti kamu
tengah gundah gulana atau bermuram durja, terlalu bahagia dan bersemangat tanpa
bisa berkata-kata juga bisa membuat perasaan kacau. Aku sama sekali tidak
bernafsu saat melihat makanan, perutku selalu terasa penuh. Diam-diam aku
percaya isinya adalah jutaan kupu-kupu.
“Nanda!”
Rima datang dengan bermaksud
mengagetkanku. Tapi aku hanya menoleh sekilas lalu kembali mengaduk-aduk
kopiku.
“Lagi-lagi kamu melamun, nanti
kesambet….”
“Jodoh?” belum lagi Rima
menyelesaikan kalimatnya aku sudah memotongnya. Aku hapal sekali tabiat anak
ini, dimana dan kapan pun itu, yang selalu dibahasnya adalah jodoh.
Dia menatapku lekat-lekat.
Kepalanya pasti penuh tanda tanya.
“Bulan depan aku menikah.”
Rima yang tadinya cuma bisa
melongo kini menyambar gelasku dan meneguknya hingga tandas.
“Nanda, selamat yah,” katanya
sambil berdiri kemudian memelukku dari belakang, “aku aja yang pacaran tiga
tahun lebih belum dilamar-lamar,” sambungnya sambil kembali ke tempat duduknya.
Meskipun yang dikatakannya adalah hal yang sama sekali tidak disukainya dia
tersenyum tulus.
“Ini semua gara-gara gigi.”
“Gigi?” Tanya Rima memperjelas.
“Dan juga mitos.”
“Mitos?”
“Kamu ini kenapa sih?” aku mulai
sewot.
****
“Hahaha.”
“Hahaha.”
“Hahaha.”
Kami tertawa terbahak-bahak di
depan minuman kami yang hampir habis. Aku menatap wajah lelaki yang ada di
sampingku, lelaki yang bertahun-tahun aku perhatikan diam-diam dan tanpa pernah
berhasil membuatnya dekat, sewaktu itu.
“Jadi, Arif, kamu cuma mengarang
mitos tentang gigi itu ke Nanda?” Tanya Rima setelah tawanya reda.
Laki-laki yang bernama Arif, yang
beberapa bulan sudah menjadi suamiku itu menatapku dengan senyum yang cuma bisa
diartikan oleh aku sendiri. Dia memicingkan matanya. Mata yang katanya tidak
pernah berhenti mengawasiku bertahun-tahun lamanya. Ternyata selama ini kami
sama-sama bertahan. Bertahan dalam diam. Sama-sama mencinta, mencinta dalam
diam.
Tiba-tiba kulihat Rima memegang
pipinya dan sedikit meringis.
“Gigi-gigiku tiba-tiba sakit,”
bisiknya kepadaku, “seperti ada sesuatu yang menariknya ke belakang,” lanjutnya
tetap meringis sambil menutup mulutnya.
“Beberapa bulan yang lalu aku
merasakan itu, dan itulah mitos yang dikatakan Arif, bahwa sebentar lagi
jodohmu akan datang,” balasku membisikinya.
Rima mematung, aku tertawa.
No comments:
Post a Comment