Friday 12 September 2014

Dreamcatched


Gambar diambil dari pinterst.com


Aku terbangun dengan rasa ingin buang air kecil yang masih bisa kutahan, maka aku memanjakan lagi sebentar tubuhku untuk tetap duduk diam di atas kasur gabusku. Ada perasaan yang tidak biasanya. Aku terbangun dengan tersenyum. Aku memimpikan seseorang. Sontak kubalikkan bantal dan tidur lagi sejenak. Begitu kata sepupuku jika kamu ingin dimimpikan kembali oleh orang yang kamu mimpikan. Kucoba-coba mengingat apa yang terjadi sambil menjepit lebih erat kedua pahaku. Rasa ingin buang air kecil sudah tidak bisa kutahan lagi.

Mandiku lebih lama dari biasanya, terbukti dengan kuku-kukuku yang sudah agak keunguan. Guyuran air yang lebih banyak dari biasanya ternyata manjur membuat otakku berpikir baik. Mimpiku semakin jelas.

Sambil menempelkan bedak menggunakan spons ke wajahku, aku terus tersenyum sambil mengingat sosok yang menjadi mimpiku. Bisa-bisanya dia yang mendatangi tidurku. Aku bahkan berdandan lebih lama dari biasanya. Kubuktikan lagi dengan tergesa-gesanya aku keluar rumah setelah melirik arloji.

“Lebih ngebut dari biasanya yah, Pak!” seruku kepada sopir angkot yang malah dibalas dengan senyum samar.

Sesampai di kantor, mulai dari satpam yang memiliki kumis tipis sampai OB yang baru saja selesai mengelap kaca kusapa. Kuucapkan selamat pagi dengan intonasi yang cukup tinggi dan riang. Kernyitan dahi dan menganganya mulut orang-orang yang kusapa itu seolah mengucapkan, “tumben, mungkin lupa minum obat.” Hal tersebut juga membuatku mengedikkan bahu, tanda tidak mengerti pula perubahanku hari ini. 

Teman seruanganku, Ina, Rifka, Winda, Reski dan Tina tidak luput pula kuberikan sapaan manis. Mungkin lebih manis dari masing-masing minuman yang ada di meja mereka. Kulihat Winda menyikut lengan Ina yang kebetulan sedang mendiskusikan sesuatu. Rifka melemparkan kode mata ke Reski. Tina menggoyang-goyangkan bahunya.  Kali ini aku tidak peduli. Aku tahu keheranan mereka semua. Orang-orang di kantor ini mengenalku dengan perempuan yang jutek. Jangankan selamat pagi, senyumpun jarang. Mereka-mereka yang seruanganku ini sudah sangat mengerti dengan sifatku itu. “Bukan karena sombong, cuma aku ini pemalu,” belaku selalu kepada orang-orang baru.

Komputer yang sudah menyala sedari tadi tidak kusentuh-sentuh lagi. Aku menatapnya dengan pikiran tidak di tempatnya. Senyumku kusunggingkan lagi. Aku benar-benar lupa kapan terakhir merasa tersipu-sipu seperti ini. Kuingat sewaktu itu kami sedang berada di acara yang sama. Aku dengan khusyuknya membaca buku dan dia dengan seriusnya mencari objek untuk diabadikan kameranya. Poseku saat itu mungkin tertangkan oleh nalurinya dan memotretku. Bunyi kamera menyadarkanku. Dan kamipun berteman.

Aku terus memutar sisa-sisa ingatan mimpiku semalam, sampai tidak menyadari Winda sudah ada di sampingku. Menatapku dengan tatapan rasa ingin tahu yang amat besar.

“Kamu tampak lain hari ini, cerita dong,” pintanya sambil mengulurkan secangkir kopi yang menjadi minuman kesukaanku.

“Kamu juga lain,” balasku sambil mengangkat cangkir kopi pemberiannya.
“Anggap saja hadiah karena kamu sudah jadi anak yang baik sepagi ini.”

Aku memberikan arahan untuk mendekatkan kupingnya dengan mulutku. Aku membisikkan nama seseorang yang menjadi objek mimpiku. Sontak saja Winda terkekeh. Winda juga mengenalnya mengingat aku pergi bersama Winda di acara tempo hari. 

“Kau tahu, aku sempat mengabaikan gantungan pemberianmu sewaktu itu.”
“Jadi, kamu sudah menggantungnya?” mata Winda berbinar-binar karena berhasil membuatku percaya hal-hal konyol yang selalu dipercayainya.
“Iya, dreamcatcher itu memang bekerja dengan baik.”

3 comments:

  1. Sebenernya penasaran deh, Dreamcatcher itu apa seperti itu. Dan nganu-nganu ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Coba aja beli dulu ntebin, and just try to believe it dan lihat bagaimana dia bekerja. hehe :)

      Delete
  2. Saya penasaran akan sosoknya, saya tunggu bbmmu :D

    ReplyDelete