Tuesday, 27 May 2014

PULANG




Pulang
© Leila S. Chudori
Cetakan Pertama, Desember 2012
Gambar Sampul dan Isi: Daniel “Timbul” Cahya Krisna
Tataletak Sampul: Wendie Artswenda
Tataletak Isi: Wendie Artswenda, Stefanus Gunawan
Kepustakaan Populer Gramedia
vii + 464
13,5 x 20 cm

Paris, Mei 1965
Ketika gerakan mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil politik Indonesia, bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro, sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas.
Di tengah kesibukan mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya – Nugroho, Tjai, dan Risjaf – terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di Indonesia dikejar, ditembak atau menghilang begitu saja dalam pemburuan peristiwa 30 September. Apalahi dia tak bisa melupakan Surti Anandari – isteri Hananto – yang bersama tiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.

Jakarta, Mei 1998.
Lintang Utara, puteri Dimas   dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux, akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman keluarga korban tragedy 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang terkuak oleh lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya dengan Surti Anandari, tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai kaitan  dengan ayah dan kawan-kawan ayahnya. Bersama Segara Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa yang kemudian menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei 1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.

Pertama-tama saya mengucapkan terima kasih kepada Dhila, yang telah sudi menghadiahkan saya buku ini. Buku ini terus menari-nari di hadapanku ketika saya ke took buku, tetapi tarian buku lain lebih menggodaku. Mungkin radar gratisan saya menyala setiap ingin membeli buku ini. Hahaha.

Saya tidak pernah pintar mereview buku yang di dalamnya ada bau-bau politik atau sejenisnya. Saya lebih suka berdiskusi langsung. Maka, mungkin review saya tentang buku ini agak aneh sendiri disbanding yang sudah mereviewnya. Hehe.


Rumah adalah tempat keluargamu menetap.”
Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang.” (hlm 208)


Pulang, sesuai isi ceritanya. Beberapa orang yang ingin pulang ke kampung halamannya namun tidak bisa. Tidak ada yang lebih sakit daripada itu saya pikir. Menyiksa orang dengan rindu.

Saya jatuh cinta dengan buku ini, walau saya membelinya sendiri saya tidak akan pernah menyesal. Tentang tanah air, cinta segitiga, anak dan orang tua. Mbak Leila mampu menciptakan tokoh-tokoh yang begitu hidup. Dia pandai sekali menulis dari sudut pandang siapa saja. Cowok, cewek, seorang ibu yang lembut bahkan seorang bapak yang penuh wibawa. Saya jatuh cinta dengan semua tokohnya. Dan, saya semakin cinta Indonesia. 

Saya selalu mengira-ngira, bagaimana rasanya hidup di tengah perang, di tengah kerusuhan meski saya yakin tidak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi pada saya. Melalui buku ini, pertanyaan saya sedikit terjawab. Mbak Leila mampu membuat saya tegang, dan bahkan ikut menangis. Juga ada bagian yang membuat saya tertawa terbahak-bahak ketika Rininta calon ipar sepupunya yang gila fashion itu mengobrol dengan Lintang yang aktivis dan gila buku. Sungguh obrolan yang tidak nyambung.

Novel ini juga berisi sedikit sindiran-sindiran halus tentang Indonesia yang membuat saya tersenyum simpul dan mengangguk kecil.


Tetapi Wisma Indonesia malam itu jauh dari kehangatan. Ini kali pertama aku menginjak rumah seorang duta besar. Sungguh besar. Sungguh mewah. Benarkah Indonesia masuk kategori Negara sedang berkembang? (hlm 159)
Dalam sekejap aku baru mengerti: perayaan Hari Kartini tidak ada urusannya dengan Raden Ajeng Kartini atau cita-cita yang tertuang dalam surat-suratnya. Perayaan Kartini yang kuhadiri ini adalah acara kumpul-kumpul , makan-makan, berkebaya, bersasak tinggi, dan berkemeja batik. Sudah lebih dari sejam aku berbincang dengan para tamu, tak ada satupun yang menyinggung perempuan Jepara yang hari lahirnya sudah ditahbiskan sebagai salah satu hari penting di Indonesia (hlm 162)


Pokoknya saya suka buku Mbak Leila ini, yang menjadi kekurangannya mungkin karena masih adanya beberapa typo tapi itu sama sekali tidak menganggu saya. Silakan baca bukunya, dan kita bertemu untuk berdiskusi. Haha.

No comments:

Post a Comment