Pulang
© Leila S. Chudori
Cetakan Pertama,
Desember 2012
Gambar Sampul dan
Isi: Daniel “Timbul” Cahya Krisna
Tataletak Sampul:
Wendie Artswenda
Tataletak Isi: Wendie
Artswenda, Stefanus Gunawan
Kepustakaan Populer
Gramedia
vii + 464
13,5 x 20 cm
Paris, Mei 1965
Ketika gerakan
mahasiswa berkecamuk di Paris, Dimas Suryo, seorang eksil politik Indonesia,
bertemu Vivienne Deveraux, mahasiswa yang ikut demonstrasi melawan pemerintah
Prancis. Pada saat yang sama, Dimas menerima kabar dari Jakarta: Hananto Prawiro,
sahabatnya, ditangkap tentara dan dinyatakan tewas.
Di tengah kesibukan
mengelola Restoran Tanah Air di Paris, Dimas bersama tiga kawannya – Nugroho,
Tjai, dan Risjaf – terus-menerus dikejar rasa bersalah karena kawan-kawannya di
Indonesia dikejar, ditembak atau menghilang begitu saja dalam pemburuan
peristiwa 30 September. Apalahi dia tak bisa melupakan Surti Anandari – isteri
Hananto – yang bersama tiga anaknya berbulan-bulan diinterogasi tentara.
Jakarta, Mei 1998.
Lintang Utara, puteri
Dimas dari perkawinan dengan Vivienne Deveraux,
akhirnya berhasil memperoleh visa masuk Indonesia untuk merekam pengalaman
keluarga korban tragedy 30 September sebagai tugas akhir kuliahnya. Apa yang
terkuak oleh lintang bukan sekadar masa lalu ayahnya dengan Surti Anandari,
tetapi juga bagaimana sejarah paling berdarah di negerinya mempunyai
kaitan dengan ayah dan kawan-kawan
ayahnya. Bersama Segara Alam, putera Hananto, Lintang menjadi saksi mata apa
yang kemudian menjadi kerusuhan terbesar dalam sejarah Indonesia: kerusuhan Mei
1998 dan jatuhnya Presiden Indonesia yang sudah berkuasa selama 32 tahun.
Pertama-tama saya mengucapkan
terima kasih kepada Dhila, yang telah sudi menghadiahkan saya buku ini. Buku
ini terus menari-nari di hadapanku ketika saya ke took buku, tetapi tarian buku
lain lebih menggodaku. Mungkin radar gratisan saya menyala setiap ingin membeli
buku ini. Hahaha.
Saya tidak pernah pintar mereview buku yang di dalamnya ada
bau-bau politik atau sejenisnya. Saya lebih suka berdiskusi langsung. Maka, mungkin
review saya tentang buku ini agak aneh sendiri disbanding yang sudah
mereviewnya. Hehe.
Rumah adalah tempat keluargamu menetap.”Rumah adalah tempat di mana aku merasa bisa pulang.” (hlm 208)
Pulang, sesuai isi ceritanya.
Beberapa orang yang ingin pulang ke kampung halamannya namun tidak bisa. Tidak
ada yang lebih sakit daripada itu saya pikir. Menyiksa orang dengan rindu.
Saya jatuh cinta dengan buku ini,
walau saya membelinya sendiri saya tidak akan pernah menyesal. Tentang tanah
air, cinta segitiga, anak dan orang tua. Mbak Leila mampu menciptakan
tokoh-tokoh yang begitu hidup. Dia pandai sekali menulis dari sudut pandang
siapa saja. Cowok, cewek, seorang ibu yang lembut bahkan seorang bapak yang
penuh wibawa. Saya jatuh cinta dengan semua tokohnya. Dan, saya semakin cinta
Indonesia.
Saya selalu mengira-ngira,
bagaimana rasanya hidup di tengah perang, di tengah kerusuhan meski saya yakin
tidak sanggup menghadapinya jika itu benar-benar terjadi pada saya. Melalui
buku ini, pertanyaan saya sedikit terjawab. Mbak Leila mampu membuat saya
tegang, dan bahkan ikut menangis. Juga ada bagian yang membuat saya tertawa
terbahak-bahak ketika Rininta calon ipar sepupunya yang gila fashion itu
mengobrol dengan Lintang yang aktivis dan gila buku. Sungguh obrolan yang tidak
nyambung.
Novel ini juga berisi sedikit
sindiran-sindiran halus tentang Indonesia yang membuat saya tersenyum simpul
dan mengangguk kecil.
Tetapi Wisma Indonesia malam itu jauh dari kehangatan. Ini kali pertama aku menginjak rumah seorang duta besar. Sungguh besar. Sungguh mewah. Benarkah Indonesia masuk kategori Negara sedang berkembang? (hlm 159)
Dalam sekejap aku baru mengerti: perayaan Hari Kartini tidak ada urusannya dengan Raden Ajeng Kartini atau cita-cita yang tertuang dalam surat-suratnya. Perayaan Kartini yang kuhadiri ini adalah acara kumpul-kumpul , makan-makan, berkebaya, bersasak tinggi, dan berkemeja batik. Sudah lebih dari sejam aku berbincang dengan para tamu, tak ada satupun yang menyinggung perempuan Jepara yang hari lahirnya sudah ditahbiskan sebagai salah satu hari penting di Indonesia (hlm 162)
Pokoknya saya suka buku Mbak
Leila ini, yang menjadi kekurangannya mungkin karena masih adanya beberapa typo tapi itu sama sekali tidak
menganggu saya. Silakan baca bukunya, dan kita bertemu untuk berdiskusi. Haha.
No comments:
Post a Comment