Mengapa hanya cinta yang melulu
datang terlambat, pagi tidak?
Aku menggerutu beberapa hari ini
mengenai kalimat diatas. Tapi, pagi tidak pernah datang terlalu cepat, hanya
aku yang terlambat. Dengan ketergesa-gesaanku pagi ini, aku tiba-tiba mengingat
nenek. Nek, apa kabarmu?
Di sini, baru saja terlantik Bupati baru, jadi jadwal ke kantor lebih awal karena apel pagi yang biasanya di lakukan di kantor, kini haarus dilaksanakan di Kantor Bupati.
Ini mungkin agak mengherankan
bagi sebagian orang, apel pagi menantiku dan aku malah mengingatmu. Aku
mengingatmu karena sarapan pun aku tak sempat. Kamu akan memarahiku, berceramah
mengenai pentingnya sarapan, dan kamu pasti akan mulai mengambil dua butir
telur dan mengocoknya. Telurnya pasti selalu dua. Daun bawangnya pasti banyak.
Warna telur dadarnya pasti cokelat muda.
Ah Nek, perutku jadi keroncongan.
Aku menulis surat ini di Kantor. Tidak ada kantin di sini.
Nek, kamu tak pernah tahu, betapa
seringnya aku mencoba menggoreng telur dadar agar hasilnya menyerupai karyamu.
Kamu tahu jawabannya. Ya, tidak berhasil. Ibuku saja tidak pandai membuat telur
dadar sepertimu.
Tapi tak apa, lelaki yang dulu
pernah ingin kupikat dengan racikan telur dadar tidak mempan, nek. Ternyata,
dia tidak suka daun bawang. Kalau kami makan berdua, dia selalu memindahkan
irisan daun bawang – jika ada- ke piringku. Nenek mau tahu dia suka apa? Dia
suka pisang dan dia suka pisang goring cokelat keju buatanku. Ah, memang
mungkin setiap lelaki akan terpikat kepada jenis masakan berbeda yang dibuat
perempuan, yang berbeda pula tentunya.
Nek, kalau nanti saya pulang dan
menginap di rumahmu, jangan lagi memasak untukku. Walau masakanmu memang tidak
ada duanya. Istirahatlah, nanti biar aku yang memasakkan. Salam kepada Kakek.
Ingat, berhati-hatilah ketika mencukur rambutnya, nanti kulit di bagian atas
telinganya berdarah lagi.
Cucu yang menyayangimu,
Dhani Ramadhani
jadi pengen makan telur dadar, nih! Hmmm...
ReplyDelete