Panggil Aku Kartini
Saja
Pramoedya Ananta Toer
Copyright © Pramoedya
Ananta Toer 2003
All rights reserved
Diterbitkan dan
diluaskan oleh Lentera Dipantara
Cetakan 9, April 2012
304 hlm; 15x22,5 cm
Biografi ini mengajak
mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestic rumah seperti dia
adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba
singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan
itu semua, melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar
penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya
bertahun-tahun.
Kartini tidak puny
massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang
dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala
perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa, selain melambungkan
nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal
dan akar segala kehancuran manusia Pribumi. Pramoedya Ananta Toer merekam itu semua
dengan tajam dan penuh pesona yang kemudian membedakannya dengan uraian dan
tafsir mana pun atas sosok Kartini.
Saya membaca buku ini karena rasa
ingin tahu saya yang besar akan Kartini. Tapi, setelah membacanya dan mengingat
ini adalah bacaan wajib dan harus di review, saya jadi agak bingung mau
mereviewnya bagaimana, hehe. Di awal saya membeli buku ini sekadar ingin membacanya
tanpa mereview, hihi. Tapi tidak ada salahnya memberkan sedikit dari apa yang
saya dapat sebagai orang awam.
Saya sempat tersentak, kenyataan Ibu
Kartini lewat tulisan-tulisannya tidak pernah memuat tentang ibunya. Belakangan
diketaui bahwa ibunya adalah keturunan rakyat jelata. Maka dari itu untuk
menghormati Ayahnya yang keturunan bangsawan, Kartini tidak pernah pula
menggubris tentang ibunya.
Sampai di mana sikapnya terhadap leluhurnya dari garis ibu, tak banyak yang di laporkan oleh sejarah, karena dalam masyarakat feodal Pribumi, wanita menduduki tempat yang sangat tidak berarti (hlm 45)
Di sini, emosi saya sedikit
termainkan. Bagaimana seorang Ibu Kartini yang notabene mengangkat derajat
perempuan sama sekali tidak mengangkat derajat ibunya sendiri? Apakah beliau
tidak sempat mencari tahu siapa ibunya hingga beliau dewasa? Dan, di
halaman-halaman selanjutnya Ibu Kartini terbela bahwa nyatanya memang dia tidak
mengenal ibu kandungnya sama sekali. Ah, saya sedikit kecewa.
Lalu, pada perayaan Hari Kartini
kemarin, media sosial penuh dengan berbagai hal tentang Ibu Kartini. Mulai dari
yang mengagung-agungkan sampai ada pula yang mencemooh. Hingga saya dapati
tulisan, “Ibu Kartini itu, didikan orang Belanda. Apakah kalian masih mau
berterima kasih kepada orang-orangnya Belanda?” waktu membaca itu saya hanya
tersenyum kecil, hingga saya tiba di halaman pada buku ini yang membuat saya
tahu jawabannya.
Hanya orang yang mengenal tata hidup dunia lain, sekalipun hanya melalui bacaan, dapat menilai tata hidup dunianya sendiri (hlm 89)
Kami hendak berikan kepada rakyat kami apa-apa yang indah dari peradaban Eropa, bukan untuk mendesak keindahannya sendiri dan menggantinya, tetapi untuk mempermulia yang sudah ada itu (hlm 157)
Menurut Ibu Kartini, tidak ada
salahnya mempelajari budaya luar untuk nanti kita dapat memperbaiki apa-apa
yang ada Negara kita. Mengapa beliau lebih senang mempelajari Eropa dan
berkawan dengan orang-orangnya karena beliau merasa merdeka. Beliau baru
mengetahui makna demoktratis ketika berkawan dengan orang-orang Eropa.
Kenyataannya adalah, bahwa dengan jiwa merdeka itu ia dapat berhubungan dengan siapa saja yang menganggapnya bukan hamba, dan menghadapinya setingkat dan sederajat, dan dengan peghargaan. Hal demikian tiada bisa didapatkannya dari orang-orang sebangsanya yang terbungkuk-bungkuk diperhamba oleh feodalisme. Di mana yang dihargai hanyalah ketinggian keningratan dan pangkat (hlm 154)
Pernah pula saya dapati
pernyataan yang meragukan dan masih mempertanyaakan agama Ibu Kartini. Entah hal
apa yang membuat mereka-mereka itu mempermasalahkan agama. Disepanjang cerita
buku ini beliau selalu membahas tentang nasrani, tetapi di akhir-akhir muncul
beliau membahas tentang Buddha dan penolakan akan menjadi Nasrani, lalu beliau
mengakui namanya sebagai nama islam karena beliau adalah keturunan Jawa islam. Dan
ini sukses membuat saya ikut penasaran. Haha.
Kita semua adalah saudara, bukan karena kita mempunyai satu leluhur, yaitu leluhur manusia, tapi karena kita semua anak-anak dari satu Bapa, dari Dia, yang bertakhta di langit sana (hlm 146)
Bagi Kartini semua agama sama (sebagai diri daya sinkretik yang ada dalam jiwanya, sedang nilai manusia tetap terletak pada amalnya, pada sesamanya, pada masyarakatnya) penolakannya terhadap anjuran menjadi Nasrani yang dinyatakannya dengan kata-kata keras (hlm 256)
Kartini, adalah seorang yang religius tanpa berpegang pada bentuk keibadahan ataupun syariat, jadi ia termasuk dalam golongan Javanis Jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang denganNya, tak peduli apapun agama yang dianut (hlm 260)
Pada akhirnya saya terlalu banyak
membahas dan tidak ada titik temu. Satu-satunya adalah kamu juga harus membaca
bukunya dan mari kita bertemu untuk berdiskusi. Kepalaku mulai sakit saat
mereview ini, haha.
Menurut saya kenapa Kartini punya
hari peringatan dan lebih istimewa disbanding pahlawan-pahlawan perempuan
lainnya adalah karena beliau rajin membaca dan menulis.
Panggil Aku Kartini Saja- itulah namaku.Tanpa gelar, tanpa panggilan kebesaran (hlm 258)
Nanti sa baca Dhan baru diskusi ki ^^
ReplyDelete