Tuesday, 29 April 2014

Panggil Aku Kartini Saja




Panggil Aku Kartini Saja
Pramoedya Ananta Toer
Copyright © Pramoedya Ananta Toer 2003
All rights reserved
Diterbitkan dan diluaskan oleh Lentera Dipantara
Cetakan 9, April 2012
304 hlm; 15x22,5 cm

Biografi ini mengajak mengingat Kartini, tapi bukan dari sudut pandang domestic rumah seperti dia adalah gadis pingitan lalu dinikahkan secara paksa lalu melahirkan lalu mati. Coba singkirkan kenangan itu dan alihkan pikiran pada bagaimana cara Kartini melawan itu semua, melawan kesepian karena pingitan, melawan arus kekuasaan besar penjajahan dari dinding tebal kotak penjara Kabupaten yang menyekapnya bertahun-tahun.
Kartini tidak puny massa, apalagi uang. Uang tidak akrab dengan perempuan hamba seperti Kartini. Yang dipunyai Kartini adalah kepekaan dan keprihatinan dan ia tulislah segala-gala perasaannya yang tertekan itu. Dan hasilnya luar biasa, selain melambungkan nama Kartini, suaranya bisa terdengar sampai jauh, bahkan sampai ke negeri asal dan akar segala kehancuran manusia Pribumi. Pramoedya Ananta Toer merekam itu semua dengan tajam dan penuh pesona yang kemudian membedakannya dengan uraian dan tafsir mana pun atas sosok Kartini.

Saya membaca buku ini karena rasa ingin tahu saya yang besar akan Kartini. Tapi, setelah membacanya dan mengingat ini adalah bacaan wajib dan harus di review, saya jadi agak bingung mau mereviewnya bagaimana, hehe. Di awal saya membeli buku ini sekadar ingin membacanya tanpa mereview, hihi. Tapi tidak ada salahnya memberkan sedikit dari apa yang saya dapat sebagai orang awam.

Saya sempat tersentak, kenyataan Ibu Kartini lewat tulisan-tulisannya tidak pernah memuat tentang ibunya. Belakangan diketaui bahwa ibunya adalah keturunan rakyat jelata. Maka dari itu untuk menghormati Ayahnya yang keturunan bangsawan, Kartini tidak pernah pula menggubris tentang ibunya.


Sampai di mana sikapnya terhadap leluhurnya dari garis ibu, tak banyak yang di laporkan oleh sejarah, karena dalam masyarakat feodal Pribumi, wanita menduduki tempat yang sangat tidak berarti (hlm 45)


Di sini, emosi saya sedikit termainkan. Bagaimana seorang Ibu Kartini yang notabene mengangkat derajat perempuan sama sekali tidak mengangkat derajat ibunya sendiri? Apakah beliau tidak sempat mencari tahu siapa ibunya hingga beliau dewasa? Dan, di halaman-halaman selanjutnya Ibu Kartini terbela bahwa nyatanya memang dia tidak mengenal ibu kandungnya sama sekali. Ah, saya sedikit kecewa.

Lalu, pada perayaan Hari Kartini kemarin, media sosial penuh dengan berbagai hal tentang Ibu Kartini. Mulai dari yang mengagung-agungkan sampai ada pula yang mencemooh. Hingga saya dapati tulisan, “Ibu Kartini itu, didikan orang Belanda. Apakah kalian masih mau berterima kasih kepada orang-orangnya Belanda?” waktu membaca itu saya hanya tersenyum kecil, hingga saya tiba di halaman pada buku ini yang membuat saya tahu jawabannya.


Hanya orang yang mengenal tata hidup dunia lain, sekalipun hanya melalui bacaan, dapat menilai tata hidup dunianya sendiri (hlm 89)
Kami hendak berikan kepada rakyat kami apa-apa yang indah dari peradaban Eropa, bukan untuk mendesak keindahannya sendiri dan menggantinya, tetapi untuk mempermulia yang sudah ada itu (hlm 157)


Menurut Ibu Kartini, tidak ada salahnya mempelajari budaya luar untuk nanti kita dapat memperbaiki apa-apa yang ada Negara kita. Mengapa beliau lebih senang mempelajari Eropa dan berkawan dengan orang-orangnya karena beliau merasa merdeka. Beliau baru mengetahui makna demoktratis ketika berkawan dengan orang-orang Eropa.


Kenyataannya adalah, bahwa dengan jiwa merdeka itu ia dapat berhubungan dengan siapa saja yang menganggapnya bukan hamba, dan menghadapinya setingkat dan sederajat, dan dengan peghargaan. Hal demikian tiada bisa didapatkannya dari orang-orang sebangsanya yang terbungkuk-bungkuk diperhamba oleh feodalisme. Di mana yang dihargai hanyalah ketinggian keningratan dan pangkat (hlm 154)


Pernah pula saya dapati pernyataan yang meragukan dan masih mempertanyaakan agama Ibu Kartini. Entah hal apa yang membuat mereka-mereka itu mempermasalahkan agama. Disepanjang cerita buku ini beliau selalu membahas tentang nasrani, tetapi di akhir-akhir muncul beliau membahas tentang Buddha dan penolakan akan menjadi Nasrani, lalu beliau mengakui namanya sebagai nama islam karena beliau adalah keturunan Jawa islam. Dan ini sukses membuat saya ikut penasaran. Haha.


Kita semua adalah saudara, bukan karena kita mempunyai satu leluhur, yaitu leluhur manusia, tapi karena kita semua anak-anak dari satu Bapa, dari Dia, yang bertakhta di langit sana (hlm 146)
Bagi Kartini semua agama sama (sebagai diri daya sinkretik yang ada dalam jiwanya, sedang nilai manusia tetap terletak pada amalnya, pada sesamanya, pada masyarakatnya) penolakannya terhadap anjuran menjadi Nasrani yang dinyatakannya dengan kata-kata keras (hlm 256)
Kartini, adalah seorang yang religius tanpa berpegang pada bentuk keibadahan ataupun syariat, jadi ia termasuk dalam golongan Javanis Jawa, atau golongan kebatinan, di mana Tuhan dipahami sebagai sumber hidup, yang mengikat setiap orang denganNya, tak peduli apapun agama yang dianut (hlm 260)


Pada akhirnya saya terlalu banyak membahas dan tidak ada titik temu. Satu-satunya adalah kamu juga harus membaca bukunya dan mari kita bertemu untuk berdiskusi. Kepalaku mulai sakit saat mereview ini, haha.

Menurut saya kenapa Kartini punya hari peringatan dan lebih istimewa disbanding pahlawan-pahlawan perempuan lainnya adalah karena beliau rajin membaca dan menulis.


Panggil Aku Kartini Saja- itulah namaku.
Tanpa gelar, tanpa panggilan kebesaran (hlm 258)


1 comment: