Gambar diambil dari pinterest.com |
Seorang gadis tergopoh-gopoh memasuki perpustakaan. Bagian bahunya terdapat bintik-bintik air. Aku menegokkan kepala ke arah jendela. Gerimis. Gadis itu memilih tempat di dekat jendela, mengambil buku dari rak khusus novel dan mulai membaca. Kulihat, sekali-kali dia mengecek arloji dan melihat ke luar jendela. Menunggu seseorang.
Kala itu, perpustakaan sepi. Aku lebih leluasa mengamati
satu pengunjung itu.
Gerimis bukannya mereda, malah menjadi deras. Sekali lagi
kuperhatikan gadis itu, kini matanya sudah seperti keadaan jendela yang penuh
dengan air hujan. Dia menutup bukunya dengan putus asa tapi tegas. Marah.Sedih.
Dia melangkah menuju mejaku. Menyodorkan sebuah buku.
“Kalau ada yang lelaki datang kemari dan mencari sosok
seperti cirri-ciriku, tolong berikan buku ini,” katanya datar dan segera
berlalu.
Aku yang kebingungan memperhatikan buku itu. Terdapat tulisan
tangan yang begitu rapi.
"Api membara di dalam hatiku, dan
bukannya menjaganya, kau membiarkannya menyala tanpa kendali."*
Ah, kasihan. Gadis yang sepertinya sedang dilanda manisnya
cinta harus segera mengecam pahitnya. Tanpa pikir panjang, aku meraih payung
yang terletak di samping rak buku dan segera mengejar gadis yang mata dan
wajahnya nyaris menyerupai warna pakaian yang dikenakannya dan langit sore.
*Kalimat itu berasal dari Warna Air karangan Kin Dwong Hwa halaman 308
** Tulisan ini diikutsertakan dalam #1Bulan1kisah dan #LatihanNulis
*** Abaikan saja judulnya. Cerita ini sungguh absurd!
iyah dhan absurd, tapi tidak jelas juga letak keabsurd'nnya,hihihihihii
ReplyDeletehahahaa, bingungkan? saya pun!
DeletePenasaran kelanjutanya, adakah?
ReplyDeletehahahaa, gak ada :p
Delete